Konsep Kepemilikan Dan Akad Dalam Islam
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Manusia adalah mahluk sosial, dimana
satu individu membutuhkan individu yang lain dalam menghadapi berbagai
persoalan hidup untuk memenuhi kebutuhan antara yang satu dengan yang lainnya.
Karena setiap manusia mempunyai kebutuhan, sering terjadi
pertentangan-pentertangan kehendak. Oleh karena itu, untuk menjaga keperluan
masing-masing perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar
tidak melanggar hak-hak yang lainnya. Maka, timbullah hak dan kewajiban
diantara sesama manusia salah satunya adalah hak milik sebagai salah satu
fitrah manusia yang Allah ciptakan bagi mereka. Pemilik sesungguhnya dari
sumber daya yang ada, adalah Allah SWT, manusia dalam hal ini hanya dititipkan
untuk sementara saja. Sehingga sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh Allah
SWT. Oleh sebab itu kepemilikan mutlak atas harta tidak diakui dalam Islam. Konsep
kepemilikan dan harta dalam Islam tidak mengenal kepemilikan yang mutlak
sebagaimana yang terdapat dalam konsep ekonomi konvensional. Harta yang
dimiliki merupakan suatu ujian bagi manusia, agar manusia selalu mengingat
nikmat Allah SWT atas karunia yang telah diberikan. Islam telah mengatur dalam
syariatnya terhadap pengelolaan harta, baik mulai dari cara pemerolehannya
maupun dalam pemanfaatannya. Harta yang diperoleh melalui usaha langsung maupun
melalui transaksi yang dalam prosesnya ditentukan oleh keberadaannya akad yang
telah disepakati. Hal ini begitu penting, bagaimana harta seseorang itu
diperoleh dan hartanya digunakan untuk apa yang akan menjadi pertanyaan Allah
di hari kiamat.
B. Rumusan
masalah
1. Pengertian
kepemilikan dan akad.
2. Macam
– macam kepemilikan dan akad.
3. Sebab
– sebab kepemilikan.
4. Syarat
dan hukum akad.
5. Pengertian
ihrazul muhabat, khalafiyah, dan ihya mawat al-ardl.
6. Hikmah
kepemilikan dan akad.
PEMBAHASAN
A.
KEPEMILIKAN
1.
Pengertian
dan dasar hukum kepemilikan
Secara bahasa, kepemilikan (Al-Milk) berasal dari bahasa arab dari akar kata “malaka” yang artinya penguasaan terhadap
sesuatu.[1]
Adapun menurut ulama fiqh, adalah kekhususan seorang pemilik terhadap sesuatu
untuk dimanfaatkan, selama tidak ada penghalang syar’i.[2]
Oleh karena itu, jika ada seseorang menguasai dan mendapatkan harta dengan cara
yang legal, maka harta itu terkhusus untuknya, dan keterkhususan harta itu
untuknya membuatnya bisa memanfaatkannya kecuali jika ada alasan atau sebab
yang ditetapkan syara’ yang menghakanginya dari melakukan hal itu, seperti
gila, idiot, masih anak-anak dan lain sebagainya.
Dasar hukum
kepemilikan, terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 284
°! $tB ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur ’Îû ÇÚö‘F{$# 3 bÎ)ur (#r߉ö7è? $tB þ’Îû öNà6Å¡àÿRr& ÷rr& çnqàÿ÷‚è? Nä3ö7Å™$yÛムÏmÎ/ ª!$# ( ãÏÿøóu‹sù `yJÏ9 âä!$t±o„ Ü>Éj‹yèãƒur `tB âä!$t±o„ 3 ª!$#ur 4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« íƒÏ‰s% ÇËÑÍÈ
Artinya: “kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah
akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah
mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya;
dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[3]
2.
Macam-macam
kepemilikan
Menurut pandangan Islam
bahwa hak milik itu dapat dibedakan
menjadi beberapa macam
di antaranya:
1. Hak milik
individu/pribadi
Islam membolehkan/membenarkan hak individu terhadap
harta benda dan membenarkan pemilikan semua jenis harta benda yang diperoleh
secara halal di mana seseorang mendapatkan sebanyak harta yang mampu
diperolehnya. “Menurut pengetahuan ,kemahiran dan tenaga dengan menggunakan
cara-cara yang bermoral dan tidak anti sosial.”[4]Islam
menganggap tidak ada bahaya dalam hak milik perseorangan bahkan sebaliknya
menggalakkan setiap orang supaya berusaha. Islam membenarkan hak milik pribadi.
Tetapi tidak memberikan kebebasan tanpa batas menggunakan hak tersebut
sekehendaknya. Islam membenarkan hak pribadi di tetapkan menurut
ketentuan-ketentuan tertentu supaya tidak membahayakan. Islam memberi kuasa
kepada masyarakat untuk menyusun undang-undang hak milik pribadi.[5]
Hak milik individu merupakan sesuatu yang mendasar,
bersifat permanen. Melekat pada eksistensi manusia dan bukan merupakan fenomena
sementara. Sedemikian Islam menghargai hak milik individu, sampai-sampai harta
mas kawin dalam pernikahan yang gagal
(dengan persyaratan tertentu)
harus dikembalikan kepada yang empunya. Para ulama di masa lalupun
(misal al Ghazali, Satiby, Ibnu
Taimiyah) hingga pemikir pada masa kini telah bersepakat bahwa kriteria
pembatasan hak milik individu selain ketentuan syari’at adalah alasan
kemanfaatkan yang riil (maslahah).[6]
Batasan-batasan yang ditentukan oleh syara’ kadang
tetap ada yang melanggar hingga akhirnya hak milik pribadi senantiasa menjadi
sebab utama terjadinya konflik dan ketidak adilan dan keamanannya agar hal ini
tidak diabaikan. Permasalahan seperti ini sering terjadi di negara barat,
mencerminkan adanya kekuasaan politik golongan hartawan dan bukan disebabkan
oleh hak milik pribadi.[7]
Ini dikaitkan dengan negara yang menjamin kebebasan masyarakat untuk memiliki
hartanya, dan mempergunakannya setiap usaha yang dipergunakannya sesuai dengan
kepentingannya asal tidak mengganggu kepentingan negara. Kebebasan dalam
memiliki oleh sistem kapitalis merupakan bentuk pemahaman negara tersebut terhadap
makna kepemilikan. Kepemilikan tidak akan terjadi tanpa usaha untuk mendapatkan
harta yang akan dimiliki.[8]
Rakyat tidak mempunyai hal untuk memiliki harta kecuali harta-harta tertentu
yang telah ditetapkan oleh negara. Motivasi masyarakat untuk bekerja itu
didasarkan atas nilai kepemilikan yang ia dapatkan kelak setelah ia bekerja
tetapi lebih dikarenakan adanya aturan
yang ketat atas apa yang mereka kerjakan. Namun rakyat mendapatkan hasilnya
melalui pembagian yang rata yang dilakukan negara.[9]
2. Hak milik umum
Konsep hak milik umum mula-mula digunakan dalam
Islam dan tidak terdapat dalam masa sebelumnya. Namun demikian, dapat dicatat
istilah “hak milik umum” yang digunakan oleh Islam mempunyai makna yang berbeda
dan tidak memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimaksud oleh sistem sosial
dan komunis. Maksudnya, bahwa semua harta dan kekayaan milik masyarakat yang
memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang
berbeda-beda kepada warganya. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik
masyarakat dengan milik individu secara keseluruhan berdasakan kepentingan
umum.[10]
3. Hak milik negara
Hak milik negara pada dasarnya adalah hak milik
umum. Tetapi dalampengelolahan hak yang mengelola adalah hak pemerintah. Negara
juag memiliki hak milik terhadap terhadap barang dan jasa, terutama yang
terkait untuk melaksanakan kewajibannya, untuk menyelenggarakan pendidikan,
penyediaan fasilitas publik, memelihara hukum dan keadilan menyantuni fakir
miskin, dan lain-lain. Negara dapat memungutnya dari pajak secara terbatas
kepada masyarakat, di samping mengendalikan pemasukan lain seperti ghanimah,
hadiah, temuan benda tak bertuan, wakaf, hingga zakat. Kekayaan negara secara aktual merupakan
kekayaan publik sehingga harus dikeluarkan untuk kepentingan publik pula.
Kepada negara hanya pemegang amanah. Meskipun begitu, sangatlah dilarang
penggunaan kekayaan negara secara berlebihan. Kekayaan negara harus digunakan
untuk kepentingan ekonomi masyarakat, mengembangkan untuk kepentingan sosial
dan mengurangi disparitas pendapatan.[11]
3.
Sebab-sebab
kepemilikan
Hak milik sesungguhnya menurut Hukum Islam itu,
dapat diperoleh
melalui
cara:
1.
Disebabkan ihrazul mubahat (memiliki benda yang boleh dimiliki)
Barang
atau benda tidaklah benda yang menjadi hak orang lain dan tida ada larangan
hukum agama untuk diambil sebagai milik.
2. Al Uqud (aqad)
Al-Uqud
mengandung dua pengertian yaitu
1. Uqud
Jabariyah yaitu akad yang harus dilakukan berdasarkan keputusan
hakim,
seperti menjual harta yang berhutang secara terpaksa
2.
Istimlak yaitu untuk maslahat/kepentingan umum
3.
Disebbabkan khalafiyah
Khalafiyah mengandung dua pengertian yaitu.
1. Khalafiyah syakhsy’an syakhsy artinya pewaris
menempati ahli waris
dalam
memiliki harta yang ditinggalkannya
2. Khalafiyah syai’an artinya merusak barang orang
lain atau hilang, maka wajib diganti kerugian kerugian pemilik harta
4.
Disebabkan tawallud min mamluk (beranak pinak) yaitu:
Tidak
bisa diganggu oleh siapapun. Segala yang terjadi dari benda-benda yang
dimilikinya.[12]
5.
Keperluan harta mempertahankan hidup
Di
antara sebab lain untuk kepemilikan harta adalah adanya kebutuhan untuk
mempertahankan hidup, sebab hidup adalah hak bagi setiap orang.
6.
Pemberian negara kepada rakyatnya
Hak
milik dapat terjadi ketika negara memberikan sesuatu kepada rakatnya untuk
memenuhi kebutuhan hidup atau memanfaatkan kepemilikan mereka, maka rakyat
menjadi berhak atas harta tersebut, meskipun hak milik ini dapat diambil
kembali sesuai kebijakan negara.
7.
Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
Pemberian
seseorang secara Cuma-Cuma,tidak mengeluarkan harta atau tenaga seperti:
hubungan pribadi,pemilihan harta sebagai ganti rugi, berasal dari mahar,
terhadap barang temuan, dan santunan.[13]
Islam
menerangkan dalam hukum kepemilikan dipandang dalam segi ekonomi sebab-sebab
kepemilikan (milkiyah) didefinisikan:
1.
Sebab-sebab milik penuh
1.
Mengambil harta mubah yaitu harta yang belum ada pemiliknya
2.
Hasil dari milik sendiri
3.
Dengan jalan pusaka
4.
Dengan pemindahan hak dari perjanjian
2.
Milik terbatas
1.
Milik bendanya misalnya rumah dan barang-barang lainnya
2.
Milik manfaat
Seperti sewa dan wasiat
3.
Milik atas hak
Apa yang menjadi dasar untuk dapat memiliki sesuatu
benda atau manfaat ada tingkat nilainya mana-mana yang lebih penting
kepentingan individu atau masyarakat/pemerintah.[14]
4.
Hikmah
kepimilikan
1. Manusia
tidak boleh sembarangan untuk memilki sesuatu tanpa melihat aturan-aturan yang
berlaku.
2. Manusia
akan berusaha dengan benar untuk dapat memiliki sesuatu
3. Membentengi
manusia untuk dapat memiliki sesuatu dengan jalan yang tidak benar.[15]
5.
Pengertian
dan contoh ihrazul muhabat
Ihrozul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda) yang
menurut syara’ boleh dimiliki. Yang dimaksud dengan barang-barang yang
diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan)
yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki
seperti air di sumbernya, rumput di tanah lapang, kayu dan pohon-pohon di
belantara atau ikan di sungai dan di laut.[16]
6.
Pengertian
khalafiyah
1).
Pengertian Khalafiyah
Khalafiyah adalah bertempatnya seseorang atau
sesuatu yang baru ditempat yang lama yang sudah tidak ada dalam berbagai macam
hak.
2).
Macam-macam Khalafiyah
adalah
kepemilikan suatu harta dari harta yang ditinggalkan oleh pewarisnya, sebatas
a.
Khalafiyah Syakhsyi ’an syakhsy (seseorang terhadap seseorang)
memiliki
harta bukan mewarisi hutang si pewaris.
b.
Khalafiyah syai’in ‘an syai’in (sesuatu terhadap sesuatu)
Adalah
kewajiban seseorang untuk mengganti harta / barang milik orang lain yang
dipinjam karena rusak atau hilang sesuai harga dari barang tersebut.[17]
7.
Pengertian
ihya mawat al-ardl
Ihya
al-mawat merupakan dua lafadz yang menunjukkan satu istilah dalam Fiqih dan
mempunyai maksud tersendiri.
Bila diterjemahkan secara literer, ihya berarti menghidupkandan mawat berasal dari maut
yang berarti mati atau wafat.[18] Pengertian al-mawat menurut
al-Rafi’I ialah:
الارض التى لامالك لها ولا ينتفع بها
احد
“Tanah yang
tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkannya seorang
pun.”
Menurut Imam al-Mawar didalam kitab
Al-Iqna’ al-Khatib, yang dimaksudkan dengan al-mawat menurut istilah adalah:
هو الذى لم يكن عامرا ولا حريمالعامر
قرب من العامر اوبعد
“Tidak ada yang menanami, tidak ada
halangan karena yang menanami, baik dekat dari yang menanami maupun jauh.”
Menurut Syaikh Syihab al-Din Qalyubi wa Umairah dalam
kitabnya Qalyubi wa Umairah bahwa yang dimaksudkan dengan Ihya al-mawat adalah:
عمارة الارض التى لم تعمر
“Menyuburkan tanah yang tidak
subur.”
Dari
beberapa pengertian di atas, ada beberapa pendapat dari para ulama’ fiqih
tentang pengertian ihya al-mawat. Ulama Hanafiiyah mendefinisikan ihya
al-mawat dengan “Peggararapan lahan yang belum dimiliki dan digarap oleh orang
lain karena ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman”. Sedangkan
ulama syafi’iyah mendefinisikannya dengan“Pengagarapan lahan yang belum di garap
orang baik lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat”.
Perbedaan
yang terdapat dalam kedua definisi di atas adalah persoalan letak
lahan. Bagi ulama hanafiyah lahan yang akan digarap dan tidak
dimiliki seseorang itu harus jauh dari pemukiman penduduk. Sedangkan ulama syafi’iyah
tidak membedakan jauh dekatnya, bagi mereka yang nenjadi ukuran adalah
lahan itu belum menjadi milik seseorang dan belum di garap sama
sekali.[19]
B.
AKAD
1.
Pengertian
dan dasar hukum aqad
Kata akad berasal dari kata al-aqd berarti mengikat, menyambung ataumenghubungkan.
Dalam hukum Indonesia, akad sama dengan perjanjian.
Sebagai suatu istilah
hukum islam, ada beberapa definisi yang diberikan pada akad:
1. Akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran atau
pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam
lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.[20]
2. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, malikiyah dan hambaliyah, yaitu: “segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri,
seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.[21]
3. Akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh
salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum
pada objek akad.
Akad adalah tindakan hukum dua pihak. Sedangkan tindakan hukum satu pihak,
seperti janji memberi hadiah, wasiat, atau wakaf, bukanlah akad,
karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan tindakan dua
pihak, dan karenanya tidak memerlukan qabul. Konsepsi akad sebagai tindakan dua
pihak adalah pandangan ahli-ahli hukum islam modern. Pada zaman pra modern
terdapat perbedaan pendapat. Sebagian besar fukaha memang memisahkan secara
tegas kehendak sepihak dari akad, akan tetapi sebagian lain menjadikan akad
meliputi juga kehendak sepihak.[22]
Dasar hukum dilakukannya akad adalah :
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4‘n=÷FムöNä3ø‹n=tæ uŽöxî ’Ìj?ÏtèC ωøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts† $tB ߉ƒÌムÇÊÈ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad
itu” (QS. Al Maidah : 1).
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan
isi perjanjian atau aka itu hukumnya wajib.
2.
Syarat
dan hukum aqad
Syarat dalam akad ada empat yaitu:
1. Syarat terbentuknya akad (syuruth al-In’iqad)
Diantaranya yaitu:
a.
Tamyiz
b.
Berbilang pihak (at-ta’adud)
c.
Persesuaian ijab qabul (kesepakatan)
d.
Kesatuan majelis akad
e.
Objek akad dapat diserahkan
f.
Objek akad tertentu atau dapat ditentukan
g.
Objek akad dapat ditransaksikan (artinya
berupa benda bernilai dan dimiliki)
h.
Tujuan akad tidak bertentangan dengan
syara’
1. Syarat sahnya akad ( syuruth ash-shihhah)
Adalah segala sesuatu yang di syaratkan syara’ untuk
menjamin dapat keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak. Ada
kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama hanafiyah mensyaratkan
terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual beli, yaitu kebodohan,
paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemudharatan, dan syarat-syarat
jual beli rusak.
2. Syarat berlakunya akibat hukum (syuruth an-Nadz)
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu
kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh
seseorang sehingga ia bebas beraktifitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai
dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam
ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secar asli, yakni dilakukan
oleh dirinya, maupun sebagai penggantian atau menjadi wakil seseorang dalam hal
ini di syaratkan antara lain :
1. Barang yang di jadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika di
jadikan , maka sangat bergantung pada ijin pemiliknya yang asli.
2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan oranglain.
3. Syarat mengikatnya akad (syarthul-luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Daiantara syarat
luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari beberapa khiar jual beli,
seperti khiar syarat, khiar aib dan lain sebagainya. Jika luzum tampak, maka akad
batal atau dikembalikan.[23]
3.
Macam-macam
sighat dalam aqad
Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan
kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Definisi
ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang
menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan
maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang
mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama.
Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang
yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan
Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima.
Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak
yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan
itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang
harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
a. adanya
kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
b. Adanya
kesesuaian antara ijab dan qobul
c. Adanya
pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
d. Adanya
satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak
menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya.
Ijab
Qobul akan dinyatakan batal apabila :
a. penjual
menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
b. Adanya
penolakan ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya
majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah
dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
d. Kedua
pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
e. Rusaknya
objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.[24]
4.
Macam-macam
aqad
1. Akad Bernama
Yang
diamksud dengan akad bernama adalah akad yang sudah ditentukan namanya oleh
pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang
berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain,
Ahli
hukum klasik menyebutkan beberapa jenis akad, sehingga secara keseluruhan akad
menurut perhitungan az-zarqa’ mencapai 25 jenis akad bernama, yaitu :
1. Jual beli (al-ba’i)
2. Sewa menyewa (
al-ijarah)
3. Penanggungan ( al-kafalah)
4. Pemindahan uang
(al-hiwayah)
5. Gadai( ar-rahm)
6. Jual beli opsi(
bai’al-wafa)
7. Penipuan
(al-ida’)
8. Pinjam pakai (
al-i’arah)
9. Hibah(
al-hibah)
10.
Pembagian(al-qismah)’
11. Persekutuan(asy-syirkah)
12. Bagi hasil
(al-mudharabah)
13. Penggarapan
tanah (al-muzara’ah)
14. Pemeliharaan
tanaman ( al-musaqah)
15. Pemberian kuasa
(al-wakalah)
16. Perdamaian
(ash-shulh)
17. Arbitrase(at-tahkim)
18. Pelepasan hak
kewarisan (al-mukharajah)
19. Pinjam
mengganti ( al-qardh)
20. Pemberian hak
pakai rumah ( al-umra)
21. Penetapan ahli
waris ( al-muawalah)
22. Pemutusan
perjanjian atas kesepakatan (al-iqadah)
23. Perkawinan (
al-zawaj)
24. Wasiat (
al-washiyyah)
25. Pengangkatan
pengampu ( al-isha)
2. Akad Tak
Bernama
Akad
tak bernama ialah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fikih
dibawah satu nama tertentu. Dengan kata lain, akad tak bernama ialah akad yang
tidak ditempuh oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta ada pengaturan
tersendiri mengenainya. Terhadapnya berlaku ketentuan-ketentuan umum akad. Akad
jenis ini dibuat dan ditentukan oleh para pihak sendiri sesuai denga kebutuhan
mereka . kebebasan dalam membuat akad tertentu ( tidak bernama) ini termasuk ke
dalam apa yang disebut dengan kebebasan berakad. Akad tidak bernama ini timbul
selaras dengan kepentingan para dan akibat kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang. Contoh akad tak bernama adalah perjanjian penerbitan,periklanan
dans ebaginya .
3. Akad Pokok Dan Akad Asesoir
Dilihat
dari kedudukannya, akad dibedakan menjadi akad yang pokok ( al-‘aqd al-ashli)
dan akad asesoir (‘al-aqd at-tab’i).
Akad
pokok adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung
kepada suatu hal lain. Termasuk ke dalam jenis ini adalah semua kad yang
keberadaannya karena dirinya sendiri, seperti akad jual beli, sewa-menyewa,
penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya,
Akad
asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri meliankantergantung
kepapa suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya
akad tersebut. Termasuk dalam kategiri ini adalah penanggungan(
al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn). Kedua kad ini merupakan perjanjian untuk
menjamin,karena itu keduanya tidak ada apabila hak-hak yang dijamin tidak ada.
4. Akad Bertempo Dan
Akad Tidak Bertempo
Dilihat
dari unsur tempo di dalam akad, akad dapat dibagi menjadi akad bertempo (
al’aqd az-zamani) dan akad tidak bertempo ( al’aqd al-fauri).
Akad
bertempo adalah akad yang didalamnya ada unsur waktu merupakan unsur asai,
dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Termasuk dalam
kategori ini, misalnya sewa-menyewa, akad penitipan, akad pinjam pakai,akad
pemberian kuasa, akad berlangganan surat kabar dan lain sebagainya.
Akad
tidak bertempo adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi
perjanjian. Akad jual beli misalnya, terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo
sebagai bagian dari akad tersebut.
Bahkan apabila jual beli
dilakukan dengan hutang, sesungguhnya unsur waktu tidak merupakan esensial, dan
bila telah tiba waktu pelaksanaan, maka pelaksaaan tersebut bersifat seketika
dan pada saat itu hapuslah akad kedua belah pihak.
5. Akad Konsesnual,Akad
Formalistik Dan Akad Rill
Dilihat
dari segi formalitasnya, akad dibedakan menjadi akad konsensual (al’aqd
ar-radha’i), akad formalistik (al-‘aqdasy-syakli) dan akad rill (al-‘aqd
al-‘aini). Dengan akad konsensual dimaksudkan jenis akad yang terciptanya cukup
berdasarkan pada kesepakatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas
tertentu, seperti akad jual beli, sewa menyewa, utang piutang dan seterusnya.
Akad
formalistik adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang
ditentukan oleh pembuat hukum, dimana apabila syarat-syarat itu tidak dipenuhi
akad tidak sah. Contohnya adalah akad nikah dimana formalitas yang disyaratkan
adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.
Akad
rill adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan penyerahan tunai objek akad,
dimana akad belum tersebut terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum apabila
belum dilaksanakan, kategorinya yaitu hibah, pinjam pakai, penitipan, kredit
(utang) dan akad gadai.
6. Akad Masyru’
Dan Akad Terlarang.
Dilihat
dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’, akad dibedakan menjadi
dua, yaitu akad masyru’ dan akad terlarang.
Akad
masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak ada
larangan untuk menutupnya, sperti akad-akad yang sudah dikenal luas , seperti
akad jual beli, sewa menyewa, mudharabah dan sebagainya.
Akad
terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti
akad jula beli janin, akad donasi harta anak dibawah umur, akad yang
bertentangan dengan ahlak islam dan ketertiban umum seperti sewa-menyewa untuk
melakukan kejahatan.
7. Akad Yang Sah
Dan Tidak Sah
Akad
sah adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syarat sebagaimana
ditentukan oleh syara’ . sedangkan akad tidak sah adalah akad yang tidak
memenuhi rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’.
Perbedaan
akad terlarang dengan akad tidak sah yaitu penekannanya saja , dimana akad
terlarang terdapat dalil-dalil syariah yang melarang, akad tidak sah
penenkanannaya adalah tidak terpenuhinya rukun syarat akad.
8. Akad Mengikat Dan
Akad Tidak Mengikat
Akad
mengikat (al’aqd al-lazim) adalah akad dimana apabila sleuruh rukun dan sayaratnya
terpenuhi, maka akad itu mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak
dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain. Akad jenis ini
dibedakan menjadi dua, pertama contohnya akad mengikat dua pihak,
contohnya akad jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya.
Kedua akad mengikat satu pihak, contohnya akad kafalah (penangungan)
dan gadai(ar-rahn).
Akad
tidak mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat
membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad tidak mengikat
dibedakan menjadi dua macam, pertama akad terbuka untuk di fasakh, seperti akad
wakalah (pemberian kuasa), syirkah (persekutuan) akad hibah, akad wadiah
(penitipan), adan akad ‘ariah( pinjam pakai). Dan akad yang tidak mengikat
karena di dalamnya terdapat khiyar bagi para pihak.
9. Akad Nafiz Dan
Akad Mauquf
Akad
nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya
akad tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, akad nafiz adalah akad yang
tercipta secara sah dan langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat
terjadinya.
Akad
mauquf adalah akad yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan akibat
hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, malainkan masih tergantung (mauquf)
kepada adanya ratifikasi ( ijazah) dari pihak berkepentingan.
10. Akad Tanggungan
Akad Kepercayaan Dan Akad Bersifat Ganda.
Akad
tanggungan (n’aqd adh-dhaman) adalah akad yang mengalihkan tanggungan resiko
atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari
pelaksanaan akad tersebut sehingga kerusakan barang yang diterimanya melalui
akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebgai kedaaan memaksa.
Akad
kepercayaan (‘aqd-al-amanh) adalah akad dimana barang yang diallihkan melalui
akad tersebut merupakan amanah di tangan penerima barang tersebut, sehingga ia
tidak berekewajiban menangung resiko atas barang tersebut, keculai kalau ada
unsur kesengajaan dan melawan hukum . termasuk akad jenis isi adalah akad
penitipan, peminaman, perwakilan(pemberian kuasa).
Akad
yang bersifat ganda adalah akad yang di satu sisi merupakan akad tanggungan ,
tetapi disisi lain merupakan akad amanah (kepercayaan). Misalnya
akad sewa menyewa dimana barang yang disewakan adalah amanah di
tangan penyewa. Akan tetapi, di sisi lain, manfaat barang yang disewakan
merupakan tanggungannya sehingga apabila ia membiarkan barang yang disewanya
setelah diterima tanpa ia manfaatkan, maka manfaat barang tidak
dinikmatinya adalah atas tanggungannya, ia wajib membayar utang sewa kepada
orang yang menyewakan.
11. Akad Muwadah,
Akad Tabaru, Dan Akad Wuawadah Dan Tabaru Sekalaigus.
Akad
muwadah (‘aqd al-mu’awadah) adalah akad dimana terdapat prestasi yang timbal
balik sehingga masing-masing pihak menerima sesuatu sebagai imbalan prestasi
yang diberikannya. Misalnya, jual beli, sewa menyewa, pendamaian atas benda dan
sebagainya.
Akad
cuma-Cuma ( akad tabaru) (akad donasi) adalah akad dimana prestasi hanya dari
salah satu pihak , seperti akad hibah dan pinjam pakai.
Akad
atas beban dan Cuma-Cuma adalah akad yang pada mulanya merupakan
akad Cuma-Cuma, namun pada ahirnya menjadi akad atas beban. Misalnya, akad
peminjaman dimana pemberi pinjaman pada mulanya membantu orang yang
diberi pinjaman, dan akad penangguhan dimana penangguhan dimana pada awalnya
membantu orang yang di tanggung secara Cuma-Cuma, akan tetapi pada saat pemberi
pinjaman menagih kembali pinjamannya maka akadnya menjadi akad atas beban.[25]
5.
Hikmah
aqad
Ada
beberapa hikmah dengan disyariatkannya akad dalam muamalah, antara lain:
a.
Munculnya pertanggung jawaban moral dan material.
b.
Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.
c.
Terhindarnya perselisihan dari kedua belah pihak.
d.
Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah.
e.
Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas.[26]
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Islam telah mengatur dalam
fiqh muamalah berkaitan hak milik dan akad yang sifatnya sangat urgen sekali
untuk diterapkan dalam membimbing kemasyarakatan umat manusia sebagai kalifah
di bumi. Hak milik adalah pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda
menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya
selama tidak ada penghalang yang bersifat syara’. Cara pemilikan harta yang
disyariatkan Islam yaitu
1.melalui
penguasaan harta yang belum dimiliki orang;
2.melalui
transaksi;
3.melalui
peninggalan seseorang;
4.hasil/buah
dari harta yang telah dimiliki seseorang.
Sedangkan akad adalah pertalian
ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan. Rukun
akad terdari dari ‘aqid (orang yang berakad); ma’qud ‘alaih, (benda-benda yang
diakadkan); maudhu‘ al-‘aqd (tujuan atau maksud pokok mengadakan akad); dan
shighat al-`aqd (ijab kabul). Syarat-syarat umum suatu akad adalah
1. pihak-pihak
yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika objek akad
itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka
harus dilakukan oleh walinya;
2. Objek
akad itu diakui oleh syara’;
3. Akad
itu tidak dilarang oleh syara’;
4. Akad
itu berfaedah;
5. Ijab
tetap utuh dan sahih sampai terjadinya kabul;
6. Tujuan
akad itu jelas dan diakui syara’.
Adapun syarat khusus suatu akad, yaitu
syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Macam-macam akad
dilihat dari segi keafsahannya menurut syara`, akad terbagi menjadi dua yaitu :
1) Akad sahih, ialah akad yang telah memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
a).Akad
yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan);
b).Akad mawquf,
ialah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak
memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad.
2) Akad yang tidak sahih, yaitu akad
yang terdapat kekurangan ada rukun atau syarat-syaratnya sehingga seluruh
akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang
berakad.
a) Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi
salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’.
b) Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya
disyariatkan akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas.
Akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal
sebagi berikut :
1).Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila
akad itu memiliki tenggang waktu;
2).Dibatalkan oleh pihak-pihak yang
berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3).Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu
akad dapat dianggap berakhir jika akad itu fasid, berlaku khiyar syarat, khiyar
aib atau khiyar ruqyah, akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak,
tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna.
4) Wafatnya salah satu pihak yang
berakad.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami Telaah Komrehensif Sistem
Keuangan Islami, Bandung : Raja Grafindo Perada, ,2005.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada. 2010
DR. H. Suhendi Hendi,
M.Si, Fiqih Muamalah, , Jakarta : Rajawali
Pers, 2010. Ed 1, Cet. 5.
DR. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah, Jakarta : Kencana, 2012. Ed 1, Cet. 1.
http://d3ps.blogspot.com/2009/03/blog-post_29.html
Ibrahim,
Hk. Dipl. Ec, Ekonomi Islam I, Jakarta
: Kalam Mulia, 1994.
M.B.
Hendrie Anto, op.cit.,
Prof. Dr. Anwar Syamsul, MA. Hukum
Perjanjian Syariah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
Prof.DR.H. Syafe’i Rachmat, MA. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia, 2006.
Rahman Afzalur, Doktrin
Ekonomi Islam,. Jilid I, Yogyakarta :Dana Bhakti Wakaf, 1995
Sudarsono
Heri, Konsep Ekonomi Islam,Yogyakarta
: CV. Adipura, 2002.
Teungku
Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, op.cit
[1] DR. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah, Kencana, Jakarta 2012.
Ed 1, Cet. 1. Hlm.66
[2] DR. H. Hendi Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah, Rajawali Pers,
Jakarta 2010. Ed 1, Cet. 5. Hlm.36
akses tgl 02-10-2013,
pkl 13:22
[4] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi
Islam,. Jilid I, Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta, 1995, hal. 50
[5] Ibid, hal. 101
[6] M.B. Hendrie Anto, op.cit., hal.
14.
[7] Afzalur Rahman, loc.cit.
[8]
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, CV. Adipura, Yogyakarta, 2002, hal. 92
[9]
Ibid, hal. 100
[10]
Afzalur Rahman, op.cit. hal. 113
[11]
M.B. Hendrie Antonio, op.cit., hal. 117
[12]
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, op.cit., hal.16
[13]
M.B. Hendra Anto, op.cit., hal. 195
[14]
Ibrahim, Hk. Dipl. Ec, Ekonomi Islam I, Kalam Mulia, Jakarta, 1994, hal.
126
[16] Hasan Ahmad, Mata Uang
Islami Telaah Komrehensif Sistem Keuangan Islami, Raja Grafindo Perada, Bandung,2005. Hal 23
[19]
http://d3ps.blogspot.com/2009/03/blog-post_29.html
[22]
Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA. Hukum Perjanjian Syariah. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta. 2007
[23]
Prof.DR.H.Rachmat
Syafe’i, MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia Bandung. 2006. Hal 65
[25] Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA. Hukum Perjanjian
Syariah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007. Hal.73-8
Comments
Post a Comment