DINASTI ABASIYAH dalam PERKEMBANGAN dan KEMAJUAN SISTEM-SISTEM KEMASYARAKATAN dan PERADABANNYA
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam peradaban
ummat Islam, Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah peradaban ummat
Islam yang terjadi. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang
memperoleh masa kejayaan yang gemilang. Pada masa ini banyak kesuksesan yang
diperoleh Bani Abbasiyah, baik itu dibidang Ekonomi, Politik, dan Ilmu
pengetahuan. Hal inilah yang perlu untuk kita ketahui sebagai acuan semangat
bagi generasi ummat Islam bahwa peradaban ummat Islam itu pernah memperoleh
masa keemasan yang melampaui kesuksesan negara-negara Eropa. Dengan kita
mengetahui bahwa dahulu peradaban ummat Islam itu diakui oleh seluruh dunia,
maka akan memotifasi sekaligus menjadi ilmu pengetahuan kita mengenai sejarah
peradaban ummat Islam sehingga kita akan mencoba untuk mengulangi masa keemasan
itu kembali nantinya oleh generasi ummat Islam saat ini.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana
Sejarah Lahirnya Dinasti Abasiyah?
b. Perkembangan Peradaban Dinasti
Abasiyah?
c. Bagaimana perkembangan Intelektual pada
dinasti Abasiyah?
d. Apa penyebab runtuhnya dinasti
Abasiyah itu?
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Lahirnya Dinasti Abasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[1]
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan
kekuasaan, Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak
masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan
toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh
saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad
serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum
melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam
penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan
gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas,
setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah
Marwan II yang sedang berkuasa.[2]
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah
atas kekhalifahan Islam, sebab mereka
adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab
lebih dekat dengan Nabi saw.. Menurut mereka, orang Bani Umayyah secara paksa menguasai
khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan
pemberontakan terhadap Bani Umayyah.[3]
Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah
diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang
beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui
perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah,
menjelang berakhirnya Bani Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang
antara lain disebabkan:
1. Penindasan yang terus menerus
terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2.
Merendahkan kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga
mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
Oleh karena itu, logis kalau Bani
Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk
menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan ini menghimpun;
a. Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya
Abu Salamah;
b. Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini,
pada tahun 132 H./750 M. tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn
Muhammad, khalifah terakhir Bani
Umaiyah. Atas pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan
diangkatnya khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar
Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H./750-754 M.[6]
Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah
sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu
al-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu
Ja’far al-Mansur (754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah
Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga
dapatlah dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan
dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508
tahun Bani Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk.
Adapun rincian susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai
berikut:
a. Bani Abbas (750-932 M.)
1)
Khalifah Abu Abas al-Saffah (750-754 M.)
2)
Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M.)
3)
Khalifah al-Mahdi (775-785 M.)
4)
Khalifah al Hadi (775-776 M.)
5)
Khalifah Harun al-Rasyid (776-809 M.)
6)
Khalifah al-Amin (809-813 M.)
7)
Khalifah al-Makmun (813-633 M.)
8)
Khalifdah al-Mu’tasim (833-842 M.)
9)
Khalifah al-Wasiq ( 842-847 M.)
10)
Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.)
b.
Bani Buwaihi (932-107 5M.)
1) Khalifah al-Kahir (932-934 M.)
2) Khalifah al-Radi (934-940 M.)
3) Khalifah al-Mustaqi (943-944 M.)
4) Khalifah al-Muktakfi (944-946 M.)
5) Khalifal al-Mufi (946-974 M.)
c.Bani Saljuk
1) Khalifah al-Muktadi (1075-1048
M.)
2) Khalifah al-Mustazhir (1074-1118
M.)
3) Khalifah al-Mustasid (1118-1135
M.).[7]
Abu Su’ud dalam bukunya mengemuakakan bahwa pemerintahan
Bani Abbasiyah dibagi ke dalam lima periode, yakni :
a.
Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih
menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani
Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu
Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah al-Wasiq
(842-847 M.). Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah
al-Ja’far, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid.
Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama
kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.
b.
Periode Kedua (232 H./847 M. –
334H./945M.)
Kebijakan Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih
anasir Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh
adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan
sebelumnya.khalifah al-Mutawakkil (842-861 M.) merupakan awal dari periode ini
adalah khalifah yang lemah.
Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini, seperti
pemberontakan Zanj didataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusat di
Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada
periode ini adalah; Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang harus
dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi
tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga,
kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah
kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak
ke Bagdad.
c. Periode Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)
Posisi Bani Abasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani
Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk
ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran
Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang
diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya
kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan
menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan
Bagdad. Bagdad dalam periode ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena
telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa
Ali bin Buwaihi.
d. Periode
Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199 M.)
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk
dalam Daulah Abbasiyah. Kehadirannya atas naungan khalifah untuk melumpuhkan
kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling
tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa
lama dikuasai orang-orang Syi’ah.
e. Periode
Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)
Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini.
Pada periode ini, Khalifah Bani Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan
sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan
politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad
tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256 M.[8]
B. Perkembangan Peradaban Dinasti
Abasiyah
Sejarah telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, umat
Islam benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat
itu. Masa pemerintahan ini merupakan golden age dalam perjalanan sejarah
peradaban Islam, terutama pada masa Khalifah Al-Makmun.
Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-1258
M). pemerintahan yang panjang tersebut dapat dibagi dalam dua periode. Periode
I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas sampai
Al-Mustakfi. Periode II adalah masa antara tahun 945-1258 M, yaitu masa
Al-Mu’ti sampai Al-Mu’tasim. Pembagian periodisasi ini diasumsikan bahwa pada
periode pertama, perkembangan di berbagai bidang masih menunjukkan grafik
vertikal, stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II, kejayaan terus merosot
sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil menghancurkan Dinasti Abbasiyah.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan
politik dan pemerintahan yang dilakukan antara lain:
1.
Memindahkan pusat pemerintahan dari
Damaskus ke Baghdad. Kemudian menjadikan Baghdad sebagai pusat kegiatan
politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dijadikan “kota pintu terbuka”
sehingga segala macam bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan
bermukin di dalamnya. Dengan demikian jadilah Baghdad sebagai kota
international yang sangat sibuk dan ramai.
- Membentuk Wizarat untuk membantu khalifah
dalam menjalankan pemerintahan Negara. Yaitu Wizaratul Tanfiz
sebagai pembantuk khalifah dan bekerja atas nama khalifah dan Wizaratul
Rafwidl sebagai orang yang diberi kuasa untuk memimpin pemerintah,
sedangkan khalifah sendiri hanya sebagai lambang.
- Membentuk Diwanul Kitaabah (Sekretaris
Negara) yang tugasnya menjalankan tata usaha Negara.
- Membentuk Nidhamul Idary al-Markazy yaitu
sentralisasi wilayah dengan cara wilayah jajahan dibagi dalam beberapa
propinsi yang dinamakan Imaarat, dengan gubernurnya yang bergelar Amir
atau Hakim. Kepala daerah hanya diberikan hak otonomi terbatas;
yang mendapat otonomi penuh adalah “al-Qura” atau desa dengan
kepala desa yang bergelar Syaikh al-Qariyah. Hal ini jelas untuk
mebatasi kewenangan kepala daerah agar tidak menyusun pasukan untuk
melawan Baghdad.
- Membentuk Amirul Umara yaitu panglima
besar angkatan perang Islam untuk menggantikan posisi khalifah dalam
keadaan darurat.
- Memperluas fungsi Baitul Maal, dengan cara
membentuk tiga dewan; Diwanul Khazaanah untuk mengurusi keuangan
Negara, Diwanul al-Azra’u untuk mengurusi kekayaan Negara dan Diwan
Khazaainus Sila, untuk mengurus perlengkapan angkatan perang.
- Menetapkan tanda kebesaran seperti al-Burdah
yaitu pakaian kebesaran yang berasal dari Rasul, al-Khatim yaitu
cincin stempel dan al-Qadlib semacam pedang, dan kehormatan. Al-Khuthbah,
pembacaan doa bagi khalifah dalam khutbah Jum’at, as-Sikkah, pencantuman
nama khalifah atas mata uang dan Ath-Thiraz, lambang khalifah yang
harus dipakai oleh tentara dan pegawai pemerintah untuk khalifah.
- Membentuk organisasi kehakiman, Qiwan Qadlil
Qudha (Mahkamah Agung), dan al-Sutrah al-Qadlaiyah (jabatan
kejaksaan), Qudhah al-Aqaalim (hakim propinsi yang mengetuai
Pengadilan Tinggi), serta Qudlah al-Amsaar (hakim kota yang
mengetuai Pengadilan Negeri). [9]
Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang
diambil dalam program politiknya adalah:
1.
Para
Khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan
pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali.
2.
Kota Bagdad
ditetapkan sebagai ibukota Negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi
dan kebudayaan
3.
Kebebasan
berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah II, kekuasaan politik mulai
menurun dan terus menurun, terutama kekuasaan politik pusat. Karena
negara-negara bagian sudah tidak begitu mempedulikan lagi pemerintahan pusat,
kecuali pengakuan secara politis saja.
Dalam masa permulaan pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi
dapat dikatakan cukup stabil dan menunjukkan angka vertikal Devisa negara penuh
berlimpah-limpah. Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh ekonom Abbasiyah yang
telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan
negara.
Di sektor pertanian, daerah-daerah pertanian diperluas disegenap
wilayah negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada
daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi.
Disektor perdagangan, kota Bagdad disamping sebagai kota politik
agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia
saat itu. Sedangkan kota Damaskus merupakan kota kedua Sungai Tigris dan Efrat
menjadi pelabuhan transmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru
dunia. Terjadinya kontrak perdagangan tingkat Internasional ini semenjak
Khalifah Al-Mansur.
Dalam bidang administrasi negara, masa Dinasti Abbasiyah tidak
jauh berbeda dengan masa Umayyah. Hanya saja pada masa ini telah mengalami
kemajuan-kemajuan, perbaikan dan penyempurnaan. Secara umum, menurut Philip K.
Hitti, kendali pemerintahan dipegang oleh khalifah sendiri. Sementara itu,
dalam operasionalnya, yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan kepada wazir
(menteri), masalah hukum diserahkan kepada qadi (hakim) dan masalah
militer dipegang oleh amir.
C.
Perkembangan
Intelektual
Dari perjalanan dan rentang sejarah, Bani Abbasiyah dalam sejarah
lebih banyak berbuat ketimbang Bani Umayyah. Pergantian Dinasti umayyah kepada
Dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu
telah mengubah, menorah wajah Dunia Islam dalam refleksi kegiatan ilmiah.
Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbasiyah merupakan iklim pengembangan
wawasan dan disiplin keilmuan.
Kontribusi ilmu terlihat pada upaya Harun Al-Rasyid dan putranya
Al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropong
bintang, perpustakaan terbesar yang di beri nama Baitul Hikmah dan
dilengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan.
Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam selalu
bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada Dinasti
Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke
dalam ma’had. Lembaga ini kita kenal dua tingkatan yaitu :
1.
Maktab/Kuttab
dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama.
2.
Tingkat
pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah
atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.
Pada perkembangan selanjutnya mulailah dibuka madrasah-madrasah
yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada tahun 456-485 H. Lembaga
inilah yang kemudian berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Nizhamul Muluk
merupakan pelopor pertama yang mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada seperti
sekarang ini dengan nama madrasah. Madrasah ini dapat ditemukan di Bagdad,
Balkan, Naishabur, Hara, Isfahan, Basrah, Mausil dan kota-kota lainnya.
Madrasah yang didirikan ini mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi
segala bidang ilmu pengetahuan.
Corak Gerakan Keilmuan
Gerakan keilmuan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat spesifik.
Kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu pada ilmu
kedokteran, disamping kajian yang bersifat pada Al-Qur’an dan Al-Hadis; sedang
astronomi, mantik dan sastra baru dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
Kemajuan dalam Bidang Agama
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai
berkembang terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi al-ra’yi.
Dalam bidang hadis, pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan,
pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada zaman ini juga mulai
diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis. Pengklasifikasian itu secara
ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadis Shahih,
Dhaif, dan Maudhu. Bahkan dikemukakan pula kritik sanad dan
matan, sehingga terlihat jarah dan takdil rawi yang
meriwayatkan hadis tersebut.
Dalam bidang fiqih, pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang
kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam
Syafei (767-820 M) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (780-855 M).
Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena
bahasa Arab yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang menyeluruh.
Ilmu bahasa yang dimaksud adalah nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi, arudh dan
insya. Sebagai kelanjutan dari masa Amawiyah I di Damaskus.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Kemajuan ilmu teknologi (sains) sesungguhnya telah direkayasa oleh
ilmu Muslim. Kemajuan tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Astronomi,
ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu
Ibrahim Al-Farazi (777 M). Ia adalah astronom Muslim pertama yang membuat
astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Di samping itu, masih
ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibnu Isa Al-Asturlabi,
Al-Farghani, Al-Battani, Umar Al-Khayyam dan Al-Tusi.
2.
Kedokteran,
pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah ibnu Rabban Al-Tabari. Pada tahun
850 ia mengarang buku Firdaus Al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah Al-Razi,
Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
3.
Ilmu kimia.
Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan (721-815 M). Sebenarnya banyak
ahli kimia Islam ternama lainnya seperti Al-Razi, Al-Tuqrai yang hidup pada
abad ke-12 M.
4.
Sejarah dan
geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin
Al-Yakubi, Abu Jafar Muhammad bin Jafar bin Jarir Al-Tabari. Kemudian, ahli
ilmu bumi yang masyhur adalah ibnu Khurdazabah.[10]
D.
Sebab-sebab
keruntuhan Dinasti Abasiyah
Adapun
faktor-faktor yang menjadi penyebab
kemunduran Dinasti Abbasiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Internal
Pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah, wilayah kekuasaannnya meliputi barat sampai samudera Atlantik, disebelah
timur sampai India dan perbatasan China, dan diutara dari laut Kashpia sampai
keselatan teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir sama luasnya
dengan wilayah kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para
Khalifah yang lemah. Di samping itu, sistem komunikasi masih sangat lemah dan
tidak maju saat itu, menyebabkan tidak cepat dapat informasi akurat apabila
suatu daerah ada masalah, konflik, atau terjadi pemberontakan. Oleh karena itu,
terjadilah banyak wilayah lepas dan berdiri sendiri. Sebenarnya pasca Khalifah
Ma’mun, dinasti ini mulai mengalami
kemunduran. Sementara itu, kejauhan wilayah-wilayah yang terletak di ketiga
benua tersebut, dan kemudian didorong
oleh para khalifah yang makin lemah dan malas yang dipengaruhi oleh
kelompok-kelompok yang tidak terkendali bagi khalifah.[11]
Karena tidak adanya suatu sistem dan
aturan yang baku menyebabkan sering gonta-ganti putera mahkota dikalangan
istana dan terbelahnya suara istana yang tidak menjadi kesatuan bulat terhadap
pengangkatan para pengganti khalifah. Seperti perang saudara antara Amin-Ma’mun
adalah bukti nyata. Di samping itu, tidak adanya kerukunan antara tentara,
istana, dan elit politik lain yang juga memicu kemunduran dan kehancuran
dinasti ini.[12]
Dalam buku yang ditulis Abu Su’ud,
disebutkan faktor-faktor intern yang membuat Daulah Abasiyah menjadi lemah
kemudian hancur antara lain : (1) adanya persaingan tidak sehat di antara
beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abasiyah, terutama Arab, Persia,
dan Turki. (2) terjadi perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama
yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. (3) muncul dinasti-dinasti
kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. (4) akhirnya
terjadi kemerosotan tingkat perekonimian sebagai akibat dari bentrokan politik.
2. Eksternal
Di samping faktor-faktor internal,
ada juga faktor ekstern yang menyebabkan dinasti ini terjun kejurang kehancuran
total, yaitu serangan Bangsa Mongol. Latar belakang penghancuran dan
penghapusan pusat Islam di Bagdad, salah satu faktor utama adalah gangguan
kelompok Asasin yang didirikan oleh Hasan ibn Sabbah (1256 M.) dipegunungan
Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi’ah Isma’iliyah ini sangat mengganggu di
Wilayah Persia dan sekitarnya. Baik di Wilayah Islam maupun di Wilayah Mongol
tersebut.[13]
Setelah beberapa kali penyerangan
terhadap Assasin, akhirnya Hullagu, cucu Chengis Khan dapat berhasil
melumpuhkan pusat kekuatan mereka di Alamut, kemudian menuju ke Bagdad. Setelah
membasmi mereka di Alamut, tentara Mongol mengepung kota Bagdad selama dua
bulan, setelah perundingan damai gagal, akhirnya Khalifah menyerah, namun tetap
dibunuh oleh Hulagu. Pembantaian massal itu menelan korban sebanyak 800. 000
orang.[14]
Abu Su’ud mengemukakan bahwa faktor
ekstern yang menyebabkan hancurnya Dinasti Abbasiyah, adalah : (1) berlangsung
Perang Salib yang berkepanjangan, dan yang paling menentukan adalah (2) sebuah
pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil
menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di
Bagdad.[15]
KESIMPULAN
A.
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
B. Perkembangan Peradaban Dinasti
Abasiyah
Sejarah
telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam benar-benar berada
di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu. Masa pemerintahan ini
merupakan golden age dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, terutama
pada masa Khalifah Al-Makmun.
C.
Kontribusi
ilmu terlihat pada upaya Harun Al-Rasyid dan putranya Al-Makmun ketika
mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropong bintang,
perpustakaan terbesar yang di beri nama Baitul Hikmah dan dilengkapi
pula dengan lembaga untuk penerjemahan.
Kemajuan ilmu teknologi (sains) sesungguhnya telah direkayasa oleh
ilmu Muslim. Kemajuan tersebut adalah sebagai berikut.
Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian
diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Farazi (777 M). Ia adalah astronom
Muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian
bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali
ibnu Isa Al-Asturlabi, Al-Farghani, Al-Battani, Umar Al-Khayyam dan Al-Tusi.
Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah ibnu
Rabban Al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang buku Firdaus Al-Hikmah.
Tokoh lainnya adalah Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Ilmu kimia.
Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan (721-815 M). Sebenarnya banyak
ahli kimia Islam ternama lainnya seperti Al-Razi, Al-Tuqrai yang hidup pada
abad ke-12 M.
D.
Faktor
runtuhnya abasiyah yaitu Faktor internal dan eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
http://tafakurofficial.wordpress.com/2012/08/11/daulah-bani-abbasiyah-132-232-h-749-879-m/
http://tugascharis.wordpress.com/2013/02/19/makalah-daulah-abbasiyah/
Karim, M.
Abdul. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007.
Su’ud, Abu.
Islamologi. cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Sunanto,
Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003).
Yatim, Badri.
Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
[1] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1993), 49.
[2] Abu Su’ud, Islamologi (cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003),
72.
[3] M. Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), 143.
[4] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik
(Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003), h. 47.
[5] Ibid, h. 48.
[6] Ibid.
[7]Hanya disebut
sebagian, lebih lengkap lihat, Abu Su’ud, Islamologiy (Cet. I; Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003 ),
h. 73-74.
[9]
http://tafakurofficial.wordpress.com/2012/08/11/daulah-bani-abbasiyah-132-232-h-749-879-m/
[10]
http://tugascharis.wordpress.com/2013/02/19/makalah-daulah-abbasiyah/
[11]
M. Abdul Karim,
op.cit., h. 162.
Comments
Post a Comment