PEMIKIRAN AL GHOZALI dan IKHWAN AL SAFA TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan permulaan untuk meraih sesuatu
yang berguna dengan ketentuan bahwa apa yang telah diberikan mesti diajarkan
dengan cara yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan bukan
hanya pengajaran, tetapi juga merupakan semacam pembaharuan. Pendidikan
menentukan kriteria yang akan menjadi acuan semua kegiatan atau proses di masa
berikutnya sebagai suatu prestasi. Semua pendidikan formal mempunyai atau
mendukung tujuan kegiatan diri secara sadar dan nyata yang berlangsung di dalam
berbagai lembaga pendidikan. Belajar, dari pihak murid, adalah proses
psikologis dan moral yang melibatkan cara berpikir, berkehendak, berlatih, dan
hal - hal produktif lainnya. Puncak semua pendidikan, yang ditanami ketulusan
hati, adalah membekali murid kemandirian moral yang berarti memiliki
undang-undang diri yang universal, bersifat pribadi, dan juga mampu menetapkan
diri.
Pembahasan mendalam atas berbagai gagasan pendidikan
Ghazali dan Ikhwan as Shofa dengan
tujuan tunggal, yaitu menjadikan cirri - cirinya yang mendasar, tetapi dapat
dipahami oleh orang-orang muda. Gagasan - gagasan Ghazali dan Ikhwan as Shofa
akan menarik setiap orang yang beriman apabila pribadi - pribadi kita yang
mempunyai tujuan kesempurnaan, apabila masyarakat menginginkan pembangunan,
apabila nasib kita dimaksudkan untuk penyelamatan, gagasan - gagasan pendidikan
dari Ghazali dan Ikhwan as Shofa dapat memainkan peran yang besar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan
Biografi Al-Ghazali dan Ikhwan as
Shofa
2.
Bagaiman
Pemikiran Al-Ghazali dan Ikhwan as
Shofa dalam Pendidikan?
3.
Apa saja
Karya-karya Al-Ghazali dan Ikhwan as
Shofa?
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di
Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Tus wilayah Khurasan dan wafat di Tabristan
wilayah propinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 1505 H bertepatan
dengan 1 Desember 1111 M.
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah
kelahirannya, Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan.[1]
Pada tahun 488 H, Al-Ghazali dilanda keragu-raguan terhadap ilmu-ilmu yang
dipelajarinya (hukun, teologi, dan filsafat).[2]
Misalnya, ia ragu terhadap ilmu kalam (teologi) yang dipelajarinya. Hal ini
disebabkan dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan
sehingga dapat membingungkan dalam menetapkan aliran mana yang betul - betul
benar di antara semua aliran.[3]
Sebagaimana halnya ilmu kalam, dalam ilmu filsafat
pun, Al-Ghazali juga meragukannya, karena dalam filsafat, dijumpai argumen -
argumen yang tidak kuat dan menurut keyakinannya, ada yang bertentangan dengan
agama Islam. Ia akhirnya mnegambil sikap menentang filsafat. Al-Ghazali tidak
hanya menentang pengetahuan yang dihasilkan akal pikiran, tetapi juga menentang
pengetahuan yang dihasilkan panca indera. Menurutnya, panca indera tidak dapat
dipercaya karena mengandung kedustaan. Misalnya, ia menyatakan “bayangan
(rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi sebenarnya bergerak dan pindah
tempat.” Demikian juga bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi
hasil perhitungan mengatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi.
B.
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak
mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena
itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi
segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan
dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan
jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat serta
sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan
bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya
sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam
bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi
tanggung jawab orang tua dan masyarakat.[4]
Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada
tujuan yang jelas.
1. Tujuaan
Pendidikan
Mengingat pendidikan itu penting
bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a.
Mendekatkan
diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri
melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b.
Menggali dan
mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c.
Mewujudkan
profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d.
Membentuk manusia
yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela.
e.
Mengembangkan
sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian
pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan
alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat,
yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir
hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini,
orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat
bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek
pendidikan.[5]
Oleh karena itu arahan pendidikan
al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat menccapai tujuan hidupnya yakni
kebahagiaan dunia dan akhirat yang hal ini berlangsung hingga akhir hayatnya.
Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
2. Kurikulum
Pandangan Al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami
dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada
yang terlarang dan wajib dipelajari oleh anak didik menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Ilmu yang tercela, banyak atau
sedikit ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia maupun di akhirat,
misalnya ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari
akan membawa mudharat dan akan meragukan terhadap adanya Tuhan. Oleh karena
itu, ilmu ini harus dijauhi.
b. Ilmu yang terpuji, banyak atau
sedikit. Misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila dipelajari akan membawa
seseorang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta
dapat mendekatkan diri kepada Allah.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf
tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena dapat membawa kepada kegoncangan
iman dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu filsafat.
3. Metode Pendidikan
Manusia adalah subyek pendidikan,
sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu
harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut
al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya
secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, dan
meyakini.[6]
Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut
al-Ghazali yaitu :
a.
Metode
khusus pendidikan agama
Menurut
al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman,
kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan
dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
b.
Metode
khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang
mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya
pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.[7]
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali
menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak
mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam
pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan
itu ada 2 yaitu :
1.
Kesempurnaan
insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2.
Kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
C.
Karya-Karya al-Ghazali
1. Di Bidang Filsafat
a.
Maqashidu
–ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b.
Tahafut –ul
falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c.
Al-Ma’rifatul
‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang Agama
a.
Ihya’
Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b.
Al-Mungis
minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c.
Minhaj ul
abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d.
Kitab-kitab
akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat al- muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang
saat masih bisa kita simak.[8]
C.
Sejarah Ikhwan Al Safa
Ikhwan Al Safa
adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang bergerak dalam lapangan ilmu
pengetahuan. Sesuai dengan namanya, Ikhwan Al Safa berarti persaudaraan yang
suci dan bersih. Maka asas utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang
dilakukan secara tulus dan ikhlas, kesekawanan yang suci, dalam menuju ridlo
Ilahi. Perkumpulan ini dibentuk di kota Bashrah Irak sekitar tahun 340/941 olah
Zayd Ibn Rifa'ah dan berkembang pada abad ke dua Hijriah.
Perkumpulan ini
lahir pada abad ke 10 M. di kota Bashrah, pada masa pemerintahan Al Mansur,
khalifah kedua pemerintahan Bani Abbas. Dari Bashrah, Ikhwan Al Safa terus
berkembang ke berbagai daerah seperti Iran dan Quwait. Organisasi ini
mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan atas persaudaraan
Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap saling mencintai sesama saudara
muslim dan kepedulian yang tinggi terhadap orang muslim. Semua anggota
perkumpulan ini wajib menjadi guru dan muballigh bagi masyarakatnya.
Kemunculan
Ikhwan Al Safa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran
Islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran luar Islam, serta untuk
membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan. Organisasi ini sangat
merahasiakan anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia, disebabkan
kekhawatiran akan tindak penguasa waktu itu yang cenderung menindas
gerakan-gerakan yang timbul.[9]
Dalam aktifitas
Ikhwan Al Safa, banyak juga memfokus untuk mempelajari bidang kefilsafatan.
Karena di antara pendiri perkumpulan ini terdiri dari para filosof sehingga
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh filsafat yang berkembang saat itu seperti
filsafat Yunani dan Persia. Dan kemudian dipadukan dengan ajaran Islam.
Sehingga menjadi satu ikhtisar dan madzhab filsafat tersendiri. Dari sinilah
akhirnya Ikhwan al Safa menyusun sebuah buku yang terdiri dari sejumlah risalah
yang berjudul "Rasail Ikhwan al Safa wa al Kullah al Wafa yang membahas
tentang pengetahuan dan mencakup semua objek studi manusia, seperti salah
satunya tentang masalah pendidikan[10].
D.
Pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap Pendidikan.
1.
Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa
membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika,
dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang
bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis,
etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang,
langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh
manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa.
Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme.
Subdivisi pertama (psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud,
mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas.
Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan,
hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.[11]
2.
Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
a.
Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan
tiga cara, yaitu:
1.
Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita
ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2.
Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus
dibantu oleh indera.
3.
Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris
Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara
langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam
dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah,
sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa
mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada
sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.[12]
Dalam hal anak
didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik
ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga.
Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas
yang tidak mudah dihilangkan.[13]
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki
pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara
dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut
bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah
terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong.
Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan
dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa.
Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian
diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan
(al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah
al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.[14]
Ikhwan al-Shafa
juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan
pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan
al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan
adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang
beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan
potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar
menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide
(Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu
dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia
tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu
dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus
berhubungan dengan alam ide.[15]
Dalam
mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara
ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap
ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata.
Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak
bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan
ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam
hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu
pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika,
fisika, danmetafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada
kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik
mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis
pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi.
Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu,
akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak
mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan
inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.[16]
b.
Sosok Ideal Guru
Bagi
Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalahmu’allim,
ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah
malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal
adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam
hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai
berikut:
1.
Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki
syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25
tahun.
2.
Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki
kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara
persaudaraan dan bersikap dermawan.
3.
Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki
kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4.
Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya
masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran
yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.
3.
Tujuan Pendidikan menurut Ikhwan al Safa
Sesuai dengan
karakteristik dasar pemikiran Ikhwan al Safa terefleksikan dalam pandangan
pendidikannya, mereka mengawali pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan
individual dan sosial yang ingin direalisasikan melalui aktivitas pendidikan.
Secara nyata mereka memberi porsi lebih terhadap tujuan sosial dibanding tujuan
individual. Mereka mengkritisi merebaknya pemikiran-pemikiran merusak yang
banyak dianut oleh mayoritas masyarakat.
Berangkat
dari pemikiran tersebut Ikhwan al Safa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai
sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri, sebagaimana konsep dari
beberapa kalangan. Menurut Ikhwan ilmu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan
luhur kependidikan yakni pengenalan diri. Akan tetapi keharusan mengenali
dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan sebagai sarana menuju
kesamaan dan keluhuran manusia secara umum. Sebab tujuan akhir pendidikan
adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci agar
dapat meraih ridlo Allah.
Menurut
Ikhwan al Safa, pendidikan merupakan suatu aktivitas yang berhubungan dengan
kebijaksanaan. Hal itu terjadi karena proses pendidikan akan memberikan
pendidikan yang terbaik untuk dapat melatih keterampilan juga membekali dengan
akhlak yang mulia, dan akhirnya dapat mendekatkan diri pada Tuhan.
C. Karya-karya Ikhwan as Shofa
Pertemuan-pertemuan
yang dilakukan sekali dalam 12 hari di rumah Zaid ibn Rifa’ah (ketua) secara
sembunyi-sembunyi tanpa menimbulkan kecurigaan telah menghasilkan 52 risalah.
Ditilik dari segi isi, rasail tersebut dapat diklasifikasikan kepada empat
bidang yaitu:
a.
14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri, astronomi,
musik, geografi, seni, modal dan logika
b.
17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang mencakup genealogi,
mineralogi, botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia,
dan kemampuan kesadaran.
c.
10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup metafisika Phytagoreanisme
dan kebangkitan alam
d.
11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan
keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya,
tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat.
PENUTUP
1.
Imam
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir
pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazaleh, suatu kota kecil yang
terletak di Tus wilayah Khurasan dan wafat di Tabristan wilayah propinsi Tus
pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 1505 H bertepatan dengan 1 Desember 1111 M.
2.
Ikhwan Ash Shofa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat
yang banyak memfokuskan dalam bidang dakwah dan pendidikan. Perkumpulan ini
berkembang pada abad kedua Hijriah di kota Bashrah, Irak.
3.
Ikhwan memandang bahwa ilmu pengetahuan itu dapat dibaca
melalui dua cara, pertama dengan cara mempergunakan panca indera terhadap obyek
dalam semesta ya ng bersifat empirik. Ilmu model ini berkaitan dengan tempat
dan waktu. Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang
disampaikan oleh orang lain. Ilmu yang dicapai dengan cara yang kedua ini hanya
dapt dicapai oleh binatang. Dengan cara yang kedua ini pula manusia dapat
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal gaib.
4.
Al-Ghazali menyimpulkan
bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya
sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam
bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi
tanggung jawab orang tua dan masyarakat.
5.
Karya Ikhwan diantaranya adalah Rasa’il. Rasa’il di bagi
dengan apik menjadi empat bagian utama : 14 terfokus pada ilmu matematis
17 membahas ilmu kealaman, 10 berhubungan dengan ilmu Psikologis dan
intelektual, dan 11 mengakhiri empat jilid edisi Arab terakhirb dengan
memusatkan pada apa yang disebut matefisika atau ilmu teologis.
6.
Karya-karya
Al-Ghazali, yaitu:
1. Di Bidang
Filsafat
a.
Maqashidu
–ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b.
Tahafut –ul
falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c.
Al-Ma’rifatul
‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang
Agama
a.
Ihya’
Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b.
Al-Mungis
minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c.
Minhaj ul
abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d.
Kitab-kitab
akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang
Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat al- muluk (nasihat untuk kepala-kepala
negara)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
Dasoeki, Thawil Akhyar, Sebuah Kompilasi Filsafat
Islam, Semarang: Dina Utama, cet-1. 1993.
Ibnu Rusn, Abidain, Pemikiran al-Ghazali Tentang
Pendidikan, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, cet I. 1998.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam (edisi
baru), Jakarta : Gaya Media Pratama. 2005.
Sofyan, Ayi,
Kapita Selekta Filsafat, Jakarta:
Pustaka Setia, cet I. 2010.
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Aliran-Aliran Dalam
Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Semarang:
Dina Utama, cet I. 1993.
Fakhry,
Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh
Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002)
Farrukh, Omar
A. dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam,(Bandung:
Nuansa Cendekia, 2004)
Muhamad Jawad
Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; (Jogjakarta. PT.
Tiara Wacana 2002)
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
[1] Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam (edisi baru). (Jakarta:Gaya
Media Pratama, 2005). Hlm 209-210.
[2]
Ayi Sofyan. Kapita Selekta Filsafat. (Jakarta:
Pustaka Setia, 2010), cet I, hlm. 254.
[4] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 1998), cet I, hlm. 56.
[5] Ibid, hlm. 94.
[6] Fathiyah
Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran
Pendidikan Menurut Al-Ghazali, (Semarang:Dina Utama, 1993), cet I, hlm. 18.
[7] Al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, hlm. 109.
[8] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang: Dina Utama, 1993), cet I, hlm. 55-62.
[10] Muhamad Jawad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan
Islam; Jogjakarta. PT. Tiara Wacana 2002 hal. 146
[11] Omar A. Farrukh
dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam, (Bandung:
Nuansa Cendekia, 2004) hal. 185
[14] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 98- 99
[16] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 99
Comments
Post a Comment