Mawarist dan Wasiat
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki
manusia. Dengan harta, manusia dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya.
Harta itu dapat berwujud benda bergerak atau benda tidak bergerak. Cara
memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal seperti bekerja keras
hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”.
Salah satu cara memperoleh harta itu adalah melalui
jalur warisan dan wasiat, yaitu memperoleh sejumlah harta yang diakibatkan
meninggalnya seseorang. Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku. Khususnya hukum Islam. Melalui berbagai syarat dan
ketentuan yang diatur dalam hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi
penerus keluarga atau anak dari salah satu orang tua yang meninggal dapat
memperoleh harta peninggalan orang tuanya dengan tidak menzhalimi atau
merugikan orang lain.
Selain itu, dalam pelaksanaannya juga terdapat
aturan-aturan dan ketentua terkait pembagiannya. Oleh karena itu dalam makalah
ini akan dijelaskan tentang ketentuan warisan dan wasiat.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagimana
ketentuan mawaris?
2.
Bagaimana
ketentuan wasiat?
3.
Bagaimana
kaitan mawaris dan wasiat?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Mawaris
1.
Pengertian
Literatur fiqh Islam, kewarisan (al-muwarits kata tunggalnya al-mirats) lazim juga disebut dengan fara’idh, yaitu jamak dari kata faridhah diambil dari kata fardh yang bermakna “ketentuan atau
takdir“. Al-fardh dalam terminology syar’i ialah bagian yang telah
ditentukan untuk ahli waris.[1]
Hukum kewarisan Islam adalah hukum
yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban
atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.[2]
Didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
171 (a) menyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
Hukum mempelajari ilmu faraidh
adalah fardhu kifayah. Artinya, bila sudah ada yang mempelajarinya, gugurlah
kewajiban itu bagi orang yang lainnya. Begitu pentingnya ilmu faraidh, sampai
dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai separuh ilmu.[3]
2.
Sumber
Hukum Waris dalam Islam
Yang dimaksud dengan sumber adalah
asal. Jadi sumber hukum yang di sini tidak lain asal-asal hukum. Dalam hal ini,
sumber hukum waris islam itu ialah:
1.
Al-Qur’an
Dasar hukum mawarist dalam al-Qur’an telah disebutkan dalam Q.S
an-Nisa ayat 7, 11, dan 12.
ÉA%y`Ìh=Ïj9Ò=ÅÁtR$£JÏiBx8ts?Èb#t$Î!ºuqø9$#tbqç/tø%F{$#urÏä!$|¡ÏiY=Ï9urÒ=ÅÁtR$£JÏiBx8ts?Èb#t$Î!ºuqø9$#cqç/tø%F{$#ur$£JÏB¨@s%çm÷ZÏB÷rr&uèYx.4$Y7ÅÁtR$ZÊrãøÿ¨BÇÐÈ
7. Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Ayat 11-12
ÞOä3Ϲqãª!$#þÎûöNà2Ï»s9÷rr&(Ìx.©%#Ï9ã@÷VÏBÅeáymÈû÷üusVRW{$#4bÎ*sù£`ä.[ä!$|¡ÎSs-öqsùÈû÷ütGt^øO$#£`ßgn=sù$sVè=èO$tBx8ts?(bÎ)urôMtR%x.ZoyÏmºur$ygn=sùß#óÁÏiZ9$#4Ïm÷uqt/L{urÈe@ä3Ï97Ïnºur$yJåk÷]ÏiBâ¨ß¡9$#$£JÏBx8ts?bÎ)tb%x.¼çms9Ó$s!ur4bÎ*sùóO©9`ä3t¼ã&©!Ó$s!urÿ¼çmrOÍururçn#uqt/r&ÏmÏiBT|sùß]è=W9$#4bÎ*sùtb%x.ÿ¼ã&s!×ouq÷zÎ)ÏmÏiBT|sùâ¨ß¡9$#4.`ÏBÏ÷èt/7p§Ï¹urÓÅ»qã!$pkÍ5÷rr&Aûøïy3öNä.ät!$t/#uäöNä.ät!$oYö/r&urwtbrâôs?öNßgr&Ü>tø%r&ö/ä3s9$YèøÿtR4ZpÒÌsùÆÏiB«!$#3¨bÎ)©!$#tb%x.$¸JÎ=tã$VJÅ3ymÇÊÊÈ
11. Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
*öNà6s9urß#óÁÏR$tBx8ts?öNà6ã_ºurør&bÎ)óO©9`ä3t£`ßg©9Ó$s!ur4bÎ*sùtb$2 Æßgs9Ó$s!urãNà6n=sùßìç/9$#$£JÏBz`ò2ts?4.`ÏBÏ÷èt/7p§Ï¹urúüϹqã!$ygÎ/÷rr&&úøïy4 Æßgs9urßìç/9$#$£JÏBóOçFø.ts?bÎ)öN©9`à6töNä3©9Ós9ur4bÎ*sùtb$2öNà6s9Ó$s!ur£`ßgn=sùß`ßJV9$#$£JÏBLäêò2ts?4.`ÏiBÏ÷èt/7p§Ï¹urcqß¹qè?!$ygÎ/÷rr&&ûøïy3bÎ)urc%x.×@ã_uß^uqã»'s#»n=2Írr&×or&tøB$#ÿ¼ã&s!urîr&÷rr&×M÷zé&Èe@ä3Î=sù7Ïnºur$yJßg÷YÏiBâ¨ß¡9$#4bÎ*sù(#þqçR%2usYò2r&`ÏBy7Ï9ºsôMßgsùâä!%2uà°ÎûÏ]è=W9$#4.`ÏBÏ÷èt/7p§Ï¹ur4Ó|»qã!$pkÍ5÷rr&Aûøïyuöxî9h!$ÒãB4Zp§Ï¹urz`ÏiB«!$#3ª!$#uríOÎ=tæÒOÎ=ymÇÊËÈ
12. Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.
[274] Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan
seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan
maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat
mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
2.
As-sunnah
Selain itu juga terdapat sunnah rasul yang menjadi dasar hukum
waris, yaitu:
ﻗﺩﺃﻧﺯﻝﷲﻓﻰﺇﺧﻮﺍﻧﻙﻮﺟﻌﻝﻟﻬﻥﺍﻟﺛﻟﺛﺎﻥ
“ Allah telah menurunkan hukum
waris bagi saudara-saudaramu yang erempuan itu dan Allah telah menerangkan
bahwa mereka mendapat bahagian dua pertiga darimu”.
3. Sebagian
kecilnya diambil dari ijma’ para ahli ijma’
4. Beberapa
masalah diambil dari para ijtihad shahabat.[4]
3.
Rukun-rukun
Waris
Rukun-rukun waris itu ada tiga,
yaitu:
a. Muwarist/ pewaris. Di dalamliteraturfikihdisebut al-muwaritsialahseseorang yang
telahmeninggalduniadanmeninggalkansesuatu yang dapatberalihkepadakeluarganya
yang masihhidup.
b. Maurust/ hartawarisan. Menuruthukum Islam adalah segalasesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hokum dapat beralih kepada
ahli warisnya.
c. Warits/ ahliwarisdanhaknya. Menurutistilahfikihialah orang yang
berhakatashartawarisan yang ditinggalkanoleh orang yang meninggal.Orang-orang
tersebut pun harus memiliki keterkaitan dengan pewaris.Seperti adanya hubungan kekerabatan,
perkawinan.[5]
4.
Syarat-syarat
Mewarisi
Pusaka-mempusakai menyangkut harta
benda. Sebagaimana kita ketahui, harta benda itu mempunyai pemilik. Jadi
terdapat hak kepemilikan yang penuh. Sekarang dengan jalan pusaka mempusakai
itu akan terjadi peralihan, perpindahan, hak pemilikan, atau hak milik. Oleh
karena itu untuk terjadi pusaka mempusakai atau waris-mewaris di sini, menurut
hukum islam terdapat syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Muwarist, artinya orang
yang mewariskan. Dalam hal ini pewarisan baru terjadi apabila si muwaris sudah
meninggal dunia. Artinya, selagi si muwaris masih hidup, menurut hukum islam tidak
ada proses-memproses pewarisan. Artinya, apabila si muwaris masih hidup dan
pada saatitu terjadi pewarisan harta kepada ahli waris, pemberian ketika si
muwaris masih hidup ini tidak termasuk di dalam kategori waris-mewaris. Ini
hanya pemberian, hibah saja. Dan di dalam waris-mewarisi kelak harta benda yang
sudah diberikan ini tidak termasuk diperthitungkan. Mati di sini, baik hakiki
maupun hukmi (berdasarkan keputusan
hakim).
b.
Maurust arau benda
yang diwariskan. Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah
benda-benda atau manfaat yang bisa
dimiliki dan dapat digunakan untuk kepentingan manusia secara positif.[6]Menurut
pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa harta benda yang diwasiatkan
harus merupakan hak dari pewaris (ayat 2).[7]
Menurut pasal 195 bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga
dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya (pasal 195
ayat 2). Pernyataan persetujuan dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi
atau tertulis dihadapan dua orang saksi
atau dihadapan notaris (pasal195 ayat 4). Apabila wasiat melebihi
sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya
maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.[8]
c.
Warist atau ahli
warist. Ahli waris ini, benar-benar
hidup ketika muwaris meninggal dunia. Artinya, apabila ahli waris ini dalam
keadaan hidup ketika muwaris meninggal
dunia, ia berhak memperoleh harta pusaka.[9]
5.
Sebab-sebab
Mewarisi
Seseorang berhak mendapatkan
sejumlah harta warisan apabila terdapat salah satu sebab di bawah ini, yaitu:
Di
dalam hukum islam, sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang memperoleh harta
warisan ialah:
a.
Perkawinan
Perkawinan,
tentu saja yang dimaksudakan adalah perkawinan yang benar menurut hukum.
b.
Kekerabatan
Yaitu hibungan
kekeluargaan atau ahli waris dengan muwaris. Kekerabatan yang seperti ini
dinaamkan nasabah hakiki. Orang-orang
yang menerima harta warisan berdasarkan kekerabatan ada tiga macam:
-
Ashabulfurudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian tertetu dari
harta warisan.
-
‘Ashobah ‘ushubah nasabiyah, yaitu ahli waris yang menerima harta bagian yang
tidak tertentu. Mereka hanya mengambil sisa harta warisan yang telah diambil
oleh ashabulfurudh.
-
Dzzawul arham, yaitu ahli waris yang tidak termasuk ke dalam dua
kelompok tersebut di atas.
c.
Ashobah ‘ushubah sababiyah
Yang dimaksud
dengan ini ialah ahli waris yang terikat oleh ‘ushubah sababiyah, yaitu qarobah
hukmiyah, artinya kekerabatannnya itu ditentukan berdasar hukum[10]
d.
Karena memerdekakan budak.
e.
Hubungan Islam. Orang yang meninggal dunia apabila tidak mempunyai ahli
waris, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk umat Islam
dengan jalan pusaka.[11]
6.
Ahli
Waris
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di
atas, diketahui bahwa ahli waris adalah orang yang berhak mendapat warisan.
Waris laki-laki ada 10 golongan, yaitu: anak laki-laki, cucu laki-laki dari
anak laki-laki, ayah, kakek (nenek laki-laki), saudara laki-laki, keponakan
laki-laki dari saudara laki-laki, paman, anak laki-laki paman, suami, dan maula
(orang yang telah memerdekakan si mayat).
Waris perempuan ada 7 golongan,
yaitu: anak perempuan, cucu perempuan dari anak perempuan, ibu, nenek
perempuan, saudara perempuan, istri, dan perempuan yang telah memerdekakan si
mayat.
Waris adakalanya campuran (laki-laki
dan perempuan), ada kalanya tidak. Waris yang tidak bercampur, dari laki-laki
ada dua jalan yaitu: jalan yang pendek dan jalan yang panjang.
Dari jalan yang panjang, waris
laki-laki ada 15 yaitu: anak laki-laki,
cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, kakek, saudara laki-laki
sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, keponakan laki-laki
dari saudara laki-laki sekandung, keponakan lakilaki dari saudara laki-laki
seayah, paman (saudara dari ayah yang sekandung), paman (saudara laki-laki dari
ayah yang seayah), anak laki-laki paman (saudara laki-laki dari ayah yang
sekandung), anak laki-laki paman (saudara laki-laki dari ayah yang seayah),
suami, dan laki-laki yang memerdekakan si mayat.
Kalau semua itu ada yang mendapat
bagian hanya tiga, yaitu ayah, anak laki-laki dan suami.
Waris perempuan menurut jalan yang
panjang ada 10, yaitu: anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu,
nenek perempuan dari ayah, nenek perempuan dari ibu, saudara perempuan
sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri, dan
perempuan yang telah memerdekakan si mayat.
Apabila semuanya ada, maka yang mendapat
hanya 5, yaitu: istri, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu,
dan saudara perempuan sekandung.
Apabila waris laki-laki dan
perempuan semuanya ada, yang mendapat bagian ialah; orangtua (ayah-ibu), anak
laki-laki, anak perempuan, dan suami/istri. Waris-waris yang tidak putus karena
keadaan ada lima, yaitu suami, istri, ayah, ibu, dan anak.[12]
Selain itu ahli waris dapat
digolongkanmenjadi tiga golongan yaitu:
a.
Zawil furud
Zawil furud adalah ahli waris yang memperoleh bagian tertentu, seperti suami
mendapat ½ apabila mayat tidak memiliki anak dan mndapat ¼ apabila mayat
mempunyai anak.
b.
Zawil arham
Zawil arham adalah kelurga yang hubungan keluarganya jauh, mereka
tidak termasuk ahli waris. Zawil arham baru mendapat waris apabila:
1)
Tidak ada ahlul asabah
2)
Tidak ada zawil furud selain
suami istri
c.
Ahlul ‘asabah
Ahlul ‘asabah adalah ahli waris yang mendapat sisa harta atau menghabiskan sisa,
setelah ahli waris yang memperolh bagian tertentu mengambil bagian
masing-masing.‘Asabah ada tiga macam, yaitu:
1)
‘Asabah binafsi
Adalah ahli waris yang memperoleh sisa harta dengan sendirinya,
tanpa sebab yang semua lainnya. Mereka adalah anak laki-laki, cucu laki-laki,
ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki
sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak laki-laki dari
paman sekandung, anak laki-laki dari paman sebapak, dan orang laki-laki yang
memerdekakan mayat.
2)
‘Asabah karena sebab yang lainnya/ bil
ghairi
Adalah ahli waris yang berhak mendapat semua sisa harta karena ada
saudara nya yang menjadi ‘asabah. Mereka adalah anak perempuan karena ada anak
laki-laki, cucu perempuan karena ada cucu laki-laki, saudara perempuan
sekandung karena ada saudara laki-laki sekandung, seudara perempuan sebapak
karena ada saudara laki-laki sebapak.
3)
‘Asabah karena bersama yang lainnya‘asabah
ma al ghairi
Adalah saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) dan saudara
perempuan sebapak (seorang atau lebih) apabila bersama:
-
Anak perempuan (seorag atau lebih)
-
Cucu perempuan (seorang atau lebih)
-
Keduanya (anak perempuan dan cucu
perempuan).[13]
7.
Hijab
(penutup)
Hijab (al-hajbu) adalah
mencegah atau menghalangi. Dalam ilmu mawaris, yang dimaksud dengan hijab
adalah penghalang bagi oranng tertentu untuk mendapatkan warisan, baik
seluruhnya maupun sebagian karena adanya orang lain. Oleh karena itu ia menjadi
tidak berak mendapat warisan disebabkan terhalang oleh ahli waris lain yang
lebih dekan dengan mayat.
Macam-macam hijab, antara lain:
a.
Hajbu bil
wasfi
Adalah seseorang terhalang dari menerima
warisan karena sifat yang ada pada dirinya, seperti membunuh dll. Jadi ini sama
dengan mawani’ul irtsi.
b.
Hajbu bil
syakhsi
Adalah terhalangnya seseorang dari
menerima warisan, baik seluruhnya maupun
sebagian karena adanya orang lain (ahli waris lain). Hajbu bil syakhsi
ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Hajbu
hirman
Adalah dinding (penghalang) yang mencegah
ahli waris lain memperoleh bagian, disebabkan ahli waris lain yang lebih dekat
dengan mayat.
2)
Hajbu
nuqsan
Adalah pengahalang yang menyebabkan
berkurangnya bagian warisan disebabkan ada ahli waris lain yang menjadi
penghalangnya.[14]
8.
Manawi’ul irtsi
Yang dimaksud dengan manawi’ul
irtsi ialah penghalang terlaksananya waris-mewarisi. Seorang yang berhak
mendapat harta warisan, tetapi oleh karena padanya ada sesuatu keadaan
tertentu, menyebabkan dia tidak mendapatkan warisan. Jadi, adanya dianggap
tidak ada. Artinya, sekalipun ia memnuhi syarat sebagai ahli waris, tetapi
karena ada sesuatu keadaan tertentu itu, terhalang ia memperoleh harta warisan.
Keadaan seperti ini disebutkan mamnu’ atau mahrun atau terhalang.
Dan keadaan tidak dapat memperoleh pusaka itu dinamakan hirman.
Seseorang yang menjadi ahli waris,
tetapi tidak dapat memperoleh harta warisan karena ada orang lainnya, dinamakan
mahjub, tertutup, terdinding. Keadaan yang mendindingi ini dinamakan alhajbu.
a.
Perbudakan
Para fuqoha sepakat, budak tidak
dapat mewarisi dan tidak dapat pula mewariskan. Sebab ia tidak dapat mewarisi
atau mewariskan karena ia dianggap tidak
mampu. Ia tidak dapat mewarisi karena dianggap ia tidak akan dapat
mengurusi harta pusaka.[15]
b.
Pembunuhan
Rasulullah berkata:
“Siapa yang membunuh seseorang ia tidak dapat mewarisi dari
terbunuh itu, sekalipun orang yang terbunuh itu tidak mempunyai ahli waris
kecuali si pembunuh itu saja, dan apabila si terbunuh itu orangtuanya atau
anaknya, si pembunuh tidak berhak menerima harta warisan” (H.R. Ahmad dari
Umar).
Apabila si pembunuh diperbolehkan
mendapatkan warisan, akan terjadi di dalam masyarakat kekacauan[16]lantaran
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang menghendaki
memperoleh harta warisan dari orang-orang yang akan dibunuhnya.
c.
Berlainan agama
Keadaan berlainan gama menghalangi
memperoleh harta warisan. Dalam hal ini yang dimaksud ialah ahli waris dengan
muwaris berbeda agama.[17]
d.
Berlaian negara
Berlainan negri, yang berarti
berlainan tempat, tetapi negri-negri itu melakukan hukum islam, tidak menjadi
penghalang antara sesama muslim, ahli waris dengan muwaris, untuk memperoleh
harta warisan. Jelasnya, antara sesama muslim dari negeri-negeri islam tidak
terhalang untuk memperoleh harta warisan.[18]
9.
‘Asabah
‘Asabah menurut istilah bahasa artinya mencegah. Menurut istilah ahli fikih
artinya waris yang menerima semua harta warisan apabila ia sendirian, dan
menerima kelebihan yang dibagi apabila ia tidak sendirian.Waris yang menjadi asabah
ialah:
a.
Anak
Sebagaimna firman Allah dalam Q.S
an-Nisa:11, yang artinya “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka) anak –anakmu”.
b.
Ayah
Allah telah berfirman dalam Q.S an-Nisa
ayat 11, “ Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkannya. Jika ada yang meninggal itu mempunyai anak, ½”.
Berikut ini adalah urut-urutan yang selanjutnya.
Anak laki-laki, kemudian cucu laki-laki dari anak
laki-laki, kemudian ayah, kemudian kakek, kemudian saudara laki-laki sekandung,
kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian keponakan laki-laki dari saudara
laki-laki seayah, kemudian paman, kemudian anak laki-laki dari paman, kalau
semuanya tidak ada, maka terakhir adalah orang yang memerdekakan.
Apabila
tidak ada waris, hartanya diberikan kepada kas negara, dengan syarat:
penggunaannya adil sesuai dengan ajaran agama, kalau tidak adil karena penguasa
yang tidak baik (karena tidak memenuhi syarat kepemimpinan) menurut Syekh Abu
Daud ada 2 kemungkinan:
- Harta tidak diberikan kepada orang yang mempunyai
hubungan pembagian dan tidak kepada orang yang mempunyai hubungan keluarga,
harta itu milik umat Islam, tidak bisa lepas (hilang) sebab tidak adanya
pemerintah yang adil.
- Harta diberikan kepada orang yang mempunyai hubungan
keluarga, sebab memang demikian hak, adapaun diberikan kepada kas negara itu
berdasarkan ijma.[19]
10.
Pembagian
Warisan
Pembagian
yang ditetapkan dalam Kitab Allah ada 6 macam, yaitu ½, ¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan
1/6. Pembagian tersebut juga disebut furudul muqaddarah.
Yang mendapat setengah ada 5 macam,
yaitu:
a.
Seorang
anak perempuan apabila sendirian
b.
Cucu
perempuan dari anak laki-laki apabila ia sendirian
c.
Saudara
perempuan sekandung apabila ia sendirian
d.
Saudara
perempuan seayah apabila tidak ada saudara perempuan sekandung
e.
Suami apabila
tidak ada anak.
Yang mendapat seperempat ada dua, yaitu:
a.
Suami
ayang ada anaknya atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
b.
Istri
(istri-istri) yag tidak ada hijab (penutup)
Yang mendapat duapertiga bagian dari
warisan ada 4 macam, yaitu:
a.
Dua orang
anak perempuan
b.
Dua orang
cucu perempuan dari anak laki-laki
c.
Dua orang
saudara perempuan sekandung
d.
Dua orang
saudara perempuan seayah
Yang mendapat sepertiga bagian dari
warisan ada 2 macam:
a.
Ibu yang
tidak berhijab
Ibu mendapat 1/3 apabila mayat tidak
mempunyai anak, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak ada 2 orang
saudara laki-laki atau perempuan, baik sekandung maupun, seayah seibu.
Sebagimana yang telah diterangkan dalam Q.S an-Nisa:12.
b.
Ibu
mendapat bagian sepertiga setelah diambil bagian suami atau istri, ada dua
kemungkinan (bentuk), yaitu:
- Suami dan dua orang tua. Suami mendapat setegah, ibu
mendapat sepertiga dari sisanya sama dengan seperenam, dan sisanya untuk ayah
yaitu sepertiga.
- Istri dengan 2 orang tua. Istri mendapat seperempat,
dan ibu sepertiga dari sisanya untuk ayah. Karena ayah berserikat dengan orang
tua mendapat bagian, ibu mendapat sepertiga dari kelebihan pembagian,
sebagaimana ia bersama anak perempuan.
Yang mendapat seperenam bagian dari
warisan 7 macam, yaitu:
a.
Ibu,
apabila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan ada dua
orang saudara, mendapat seperenam.
b.
Nenek
perempuan apabila ada ibu, mendapat seperenam. Nenek perempuan dari ibunya atau
ibu ayah mendapat bagian seperenam.
c.
Cucu
perempuan dari anak laki-laki apabila ada anak perempuan sekandung, mendapat
seperenam.
d.
Saudara
perempuan seayah apabila ada saudara perempuan sekandung, mendapat bagaian
seperenam.
e.
Ayah,
apabila tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
mendapat seperenam.
f.
Kakek,
apabila tidak ada ayah mendapat seperenam.
g.
Seorang
(saudara) seibu. Saudara laki-laki seibu ialah salh satu dari saudara-saudara
dari ibu, ia mendapat seperenam, baik ia laki-laki maupun perempuan.[20]
11.
‘Aul
dan Radd
‘Aul menurut
bahasa sama artinya dengan irtifa’, yakni mengangkat atau az ziyadah
(tambahan). Maksudnya bertambah asala masalah dikarenakan jumlah bagian ahlul
furud melebihi asal masalah. Menurut istilah, ‘aul adalah
bertambahnya saham dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli
waris dari yang semestinya. Dikatakan demikian karena dalam praktik pembagian
warisan, angka asal masalah harus ditingkatkan sebesar angka bagian yang
diterima ahli waris.[21]
Contoh
pembagian ‘aul, sebagi berikut:
Seorang
laki-laki meninggal dengan ahli waris terdiri atas seorang istri, dua orang
anak perempuan, ibu, dan bapak. Harta waris berjumlah RP. 54.000.000,-. Bagian
masinh-masing ahli waris tersebut adalah sebagi berikut:
Ahli waris
|
Asal masalah (KPK) 24
|
Istri
|
1/8 X 24 = 3
|
2 anak perempuan
|
2/3 X 24 = 16
|
Ibu
|
1/6 X 24 = 4
|
Bapak
|
1/6 X 24 = 4
|
Jumlah
|
27
|
KPK (asal masalah) 24 dijadikan 27.
Istri 3/24 diubah menjadi 3/27 x Rp.
54.000.000,- = Rp. 6.000.000,-
Dua anak
perempuan 16/24 diubah menjadi
16/27 X Rp. 54.000.000,- = Rp.
32.000.000,-
sehingga masing-masing mendapat Rp.
16.000.000,-
Ibu 4/24 diubah menjadi 4/27 X Rp.
54.000.000,- = Rp 8.000.000,-
Bapak 4/24 diubah menjadi 4/27 X Rp.
54.000.000,- = Rp. 8.000.000,-
Radd secara istilah berarti mebagi sisa harta warisan kepada ahli waris
menurut bagian mereka masing-masing secara proporsional.
Radd
meruakan kebalikan dari masalah ‘aul. Jika dalam masalah ‘aul terjadi
kekurangan, maka pada radd terjadi kelebihan harta. Masalah radd terjadi
apabila dalam pembagian harta warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli
waris asabul furud memperoleh bagiannya. Cara rad itu ditempuh untuk
mengembalikan kelebihan harta kepada ahli waris, kecuali suami dan istri
menurut bagian yang diterima masing-masing secara proporsional. Caranya, dengan
mengurangi angka asal masalah sehingga sama besarnya dengan jumlah bagian yang
diterima oleh mereka.
Rad ada
dua macam yaitu:
-
Kelebihan
harta, sedangkan ahli waris tidak ada suami atau istri
-
Kelebihan
harta, sedangkan ahli waris terdapat suami istri.
Berikut adalah contoh penghitungan rad:
Jika seorang laki-laki meninggal dengan ahli waris
seorang istri, seorag ibu, dan 1 saudara perempuan kandung, dengan harta
berjumlah Rp. 48.000.000,-
KPK (asal masalah) 12.
Istri =
¼ x 12 = 3
Ibu =
1/6 x 12=2
1 saudara perempuan kandung = ½ x 12 = 6
Jumlah =
11, sisanya 1.
Sisa ditambahkan kepada ibu dan saudara
perempuan kandung dengan perbandingan 2:6 atau 1:3.
Istri
|
3/12 X Rp. 48.000.000,-
|
Rp. 12.000.000,-
|
Ibu
|
2/12 X Rp. 48.000.000,-
|
Rp. 8.000.000,-
|
1 saudara pr kandung
|
6/12 X Rp. 48.000.000,-
|
Rp. 24.000.000,-
|
Jumlah
|
Rp. 44.000.000,-
|
|
Sisa
|
Rp. 4.000.000,- (1/12)
|
Istri
|
3/12 X Rp. 48.000.000,-
|
Rp. 12.000.000,-
|
Ibu
|
Rp. 8.000.000,- + ¼ x Rp. 4.000.000,-
|
Rp. 9.000.000,-
|
1 saudara pr kandung
|
Rp. 24.000.000,- + ¾ x Rp. 4.000.000,-
|
Rp. 27.000.000,-
|
Jumlah
|
Rp. 48.000.000,-
|
B.
Wasiat
1.
Pengertian
Kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi,
artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii
(orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup
untuk dilaksanakan sesudah dia mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut
Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan dengan: “penyerahan
harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya”.
Menurut istilah syara’ wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik
berupa barang, piutang ataupun manfaaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi
wasiat sesudah orang yang berwasiat mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).[22]
Menurut
Hukum Islam pasal 171 huruf f wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal
dunia.[23]
Wasiat
adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan
berwasiat dalam keadaan sedang tidak sehat, artinya bukan ketika menjelang
ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang
ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua
wasiat itu berbentuk harta. Adakalanya wasiat itu berbentuk nasihat, petunjuk
perihal tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya (Beni Ahmad
Saebani, 2009 : 343).
Dari
berbagai definisi tersebut dapat di jelaskan bahwa wasiat adalah pemberian
seseorang pewaris kepada orang lain selain ahli waris yang berlaku setelah
pewaris meninggal dunia.[24]
2.
Rukun
Rukun wasiat yaitu:
a. Ada
orang yang berwasiat.
b. Ada
yang menerima wasiat.
c. Sesuatu
yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang
lain.
d. Lafaz
(kalimat) wasiat.
3.
Ketentuan
Pelaksanaan
wasiat telah disyariatkan melalui firman Allah swt. dalam Q.S al-Baqarah ayat
180.
Sebanyak-banyaknya
wasiat adalah sepertiga dari harta dan tidak boleh lebih dari itu kecuali
apabila diizinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yag berwasiat itu
meninggal.
Rasulullah Saw bersabda:
عنابنعباسقالالناسغضوامنالثلثالىالربعفاانرسولاللهصمقالالثلثوالثلثكثيررواهالبخارىومسلم
“Dari Ibnu Abbas, berkata: alangkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat
mereka dari sepertiga ke seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah Saw telah
bersabda: wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Wasiat
hanya ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris,
wasiat tidak sah kecuali mendapat persetujuan dari semua ahli waris.
Rasulullah Saw bersabda:
عنابىامامةقالسمعتالنبىصلىاللهعليهوسلميقولاناللهقداعطىكلذىحقحقهفلاوصيةلوارثرواهالخمسةالاالنساء
“Dari Abu
Amamah, ia berkata, “saya telah mendengar Nabi Saw bersabda. ‘sesungguhnya
Allah menentukan hak-hak tiap ahli waris. Maka dengan ketentuan itu tidak ada
hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris” (HR lima
orang ahli hadis, selain Nasa’i).
4.
Syarat-Syarat
Orang yang Dapat Diserahi Wasiat
Syarat-syarat orang yang dapat diserahi
wasiat adalah:
a. Beragama
Islam.
b. Sudah
baligh.
c. Orang
yang berakal sehat.
d. Orang
yang merdeka.
e. Amanah
(dapat dipercaya).
f. Cakap
dalam menjalankan sebagaimana yang dikehendaki oleh orang yang berwasiat.[25]
C.
Kaitan
mawaris dan wasiat
Kebanyakan
orang, atau mungkin sedikit, mereka yang tidak bisamembedakan antara wasiat dan
warisan. Wasiat dan warisan, sekilas memang sama, karena keduanya berhubungan
dengan harta yang ditinggal mati oleh si pemilik. Dalam syariah Islampun
menyebut keduanya bersamaan. Artinya keduanya sangat dekat sekali. Akan tetapi,
sebetulnya keduanya berbeda dan mempunyai hukum masing-masing.
Memang
keduanya ialah harta yang dibagikan setelah sipemilik meninggal dunia. Akan
tetapi, pos-pos harta dari 2 ketentuan ini jelas sangat berbeda.Warisan hanya
dibagikan kepada ahli waris dan dengan kadar yang telah ditentukan, tidak asal
memberi atau cuma-cuma. Sedangkan wasiat bisa diberikan kepada siapa saja
sesuai wasiat si mayit, dan jumlah berapa saja asal tidak melebihi sepertiga
harta si mayit tersebut.
Warisan
mempunyai hukum, syarat, asbab, dan mawani'yang tidakterdapat pada hukum
wasiat. Singkatnya perbedaan antara wasiat dan warisan bisa dilihat dari sisi
waktu, kadar, hukum taklif, dan kepada siapa diberikan. Berikut ini adalah
penjelasannya:
Pertama: Waktu.
· warisan diberikan kepada para ahli waris setelah
meninggal si pemilik harta.
· wasiat waktu pemberiannya sama dengan warisan.
Kedua:
Kadar Harta Yang Diberikan
· warisan diberikan dengan kadar yang sudah ditentukan
dalam ilmu Faro'idh, yaitu 1/2, 2/3, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8.
· wasiat diberikan dalam kadar yang tidak boleh
melebihi 1/3 dariharta si mayit.
Ketiga:
Hukum Taklif
· warisan hukumnya wajib. Tak ada tawar menawar lagi,
ketika seorang meninggal dunia, maka wajib hukumnya bahwa harta yang
ditinggalkan harus dibagikan sesuai Faro'idh.
· wasiat hukumnya mustahab, atau yang sering dikatakan
dengan sunnah. Artinya baik dilakukan karena itu bagian dari Qurbah
(pendekatan) kepada Allah, namun jika tidak berwasiatpun tak mengapa. Hanya
saja kalau seorang sudah berwasiat, maka wasiat itu wajib ditunaikan ketika
sipewasia meninggal dunia.
Keempat:
Kepada Siapa Diberikan.
· warisan hanya diberikan kepada ahli waris yang telah
ditentukandalam ilmu Faroidh.
· wasiat diberikan kepada siapapun selain ahli waris.
"tidak ada wasiat bagi ahli waris" (HR Abu Daud).[26]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai sebrikut:
a.
Faraidh merupakan
ilmu yang mempelajari ilmu tentang pembagian warisan.
b.
Rukun-rukun
waris, yaitu muwarist, maurust, dan warist.
c.
Sebab-sebab
pewarisan antara lain perkawinan,
kekerabatan, Ashobah, memerdekakan budak, dan hubungan Islam
d.
Hijab
adalah penghalang untuk mendapatkan warisan.
e.
‘Asabah
adalah orang yang mendapatkan semua harta warisan apabila ia sendirian.
f.
‘Aul
adalah bertambahnya saham dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian
para ahli waris dari yang semestinya.
g.
Rad adalah
pembagian harta warisan yang terdapat kelebihan harta setelah ahli waris asabul
furud memperoleh bagiannya.
h.
Wasiat pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.
i.
Rukun
wasiat antara lain yang memberi wasiat, yang diwasiatkan, yang menerima wasiat,
dan lafadznya.
j.
Kaitan
antara waris dan wasiat adalah Warisan mempunyai hukum, syarat, asbab, dan mawani'yang
tidakterdapat pada hukum wasiat. Singkatnya perbedaan antara wasiat dan warisan
bisa dilihat dari sisi waktu, kadar, hukum taklif, dan kepada siapa diberikan.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2002.
Elimartati. Hukum Perdata
Islam di Indonesia . Batusangkar: STAIN Batusangkar Press. 2010.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat
Islam, (Jakarta:Bulan Bintang), hlm. 291.
Idris,
Abdul Fatah dan Abu Ahmadi. Fikih Islam Lengkap. Jakarta; Rineka Cipta.
2004.
Qosim,
Rizal. Pengamalan Fikih . Solo: Tiga Serangkai. 2009.
Shomad,Abdul. Hukum Islam
Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2010.
Summa, Muhammad Amin. Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.
Syarifuddin,
Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:Kencana.
2004.
Ahmad Zakarsih@http:/perbedaan-warisan-dan-wasiat.html
Zainal Masri@http:/wasiat-dan-permasalahannya.html
[1]Muhammad Amin Summa,Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam(Jakarta:
Raja Grafindo Persada,2005),hal 109.
[2] Mohammad Daud Ali,Hukum Islam dan Peradilan Agama(Jakarta:
Raja Grafindo Persada,2002),hal 120.
[3]Asymuni A.
Rahman, dkk, Ilmu Fiqh 3 (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 3.
[4] Hasbi Ash
Shiddiqy, fiqhul Mawaris Hukum warisan dalam Syariat Islam (Jakarta:
Bulan Bintang), hlm. 20.
[5] Amir Syarifuddin,Hukum Kewarisan Islam(Jakarta:Kencana,
2004), hlm. 204.
[6] Elimartati, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Batusangkar: STAIN Batusangkar Press, 2010), hlm. 64.
[7] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
hlm.355.
[9]Asymuni A.
Rahman, dkk, Ilmu Fiqh 3, hlm. 18.
[11] Sulaiman Rasjid,Fiqh
Islam (Bandung:Sinar Baru Algensindo,1994),hlm. 348.
[12] Abdul Fatah
Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap (Jakarta; Rineka Cipta, 2004),
hlm. 205-206.
[13]Rizal Qosim, Pengamalan
Fikih(Solo: Tiga Serangkai, 2009), hlm. 106-107.
[14] Rizal Qosim, Pengamalan
Fikih, hlm 108-110.
[15]Asymuni A.
Rahman, dkk, Ilmu Fiqh 3, hlm.20.
[19] Abdul Fatah
Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap (Jakarta; Rineka Cipta, 2004),
hlm. 208-209.
[21] Rizal Qosim, Pengamalan
Fikih, hlm. 111.
[23] Elimartati, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 59.
[24]Zainal
Masri@http:/wasiat-dan-permasalahannya.html
[25] Hasbi
Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam,(Jakarta:Bulan
Bintang), hlm. 291.
Comments
Post a Comment