Hadist Tentang Pendidikan Sosial (Etika Terhadap Tamu)
Hadist Tentang Pendidikan Sosial (Etika Terhadap Tamu)
a.
Hadist
حَدَّ ثنَااَبُوْ بَكْرِبْنُ اَبِيْ شَيْبَةَ. حدَّ
ثَنَا سُفْيَا نُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ ابْنِ عَجْلاَنَ, عَنْ سَعِيْدِ بْنِ
أَبِيْ سَعِيدٍ, عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ َاْلخَزَاعِي, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ اْلاَخِرِ,فَلْيُكْرِمْ
ضَيْفَهُ. وَ جَا ئِزَتُه يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ.وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ
عِنْدَ صَا حِبِهِ حَتّى يُحْرِ جَهُ. الضِّيَا فَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ. وَمَا
أَنْفَقَ عَلَيْهِ بَعْدَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ, فَهُوَ صَدَقَةٌ.(رواه لاابن ماجة)[1]
Artinya:
Mewartakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah:
mewartakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah, dari Ibnu ‘Ajlan, dari Sa’id bin
Abu Sa’id, dari Abu Syuraih Al-Khuza’iy, dari Nabi saw, beliau bersabda: “
barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan
tamunya. Dan memberinya hadiah (makanan istimewa sehari semalam yang pertama. Dan
tidak halal bagi seorang tamu tinggal di rumah saudaranya lebih dari tiga hari
sehingga membuatnya terganggu. Dhiyafah (menjamu tamu) itu adalah selama tiga
hari. Sedang apa yang dinafkahkan kepada seorang tamu sesudah tiga hari itu
dihitung sebagai sedekah.” (HR Ibnu Majah)
b.
Pohon sanad
Rosulullah SAW
↓
Abu Syuraih Al- Khuza’iy
↓
Sa’id
bin Abu Sa’id
↓
Ibnu ‘Ajlan
↓
Sufyan
bin ‘Uyainah
↓
Abu Bakar bin
Abu Syaibah
↓
Ibnu Majah
c.
Kosa-Kata Hadits
Berikut yang berkaitan dengan kata-kata asing dalam
hadis di atas[2]
:
ضَيْفَهُ
Tamu
|
فَلْيُكْرِمْ
Memuliakan/ menghornati
|
يُحْرِ جَهُ
Terganggu
|
جَا ئِزَتُه
Hadiah
|
أَنْفَقَ
Dinafkahkan
|
يَثْوِيَ
Tinggal
|
d.
Kandungan Hadits
Bahwa sesungguhnya memuliakan tamu itu merupakan
kewajiban bagi penerima tamu, bagian
dari memuliakan tamu adalah mempersembahkan yang terbaik untuk tamu, baik itu berupa
makanan, minuman atau pelayanan, selama
dalam batas kemampuan. Dan dalam hadist di atas telah disebutkan bahwa hak
untuk bertamu itu berlaku selama tiga hari tiga malam dan pelayanan lebih dari
tiga hari merupakan sedekah. Pada hari pertama sebaiknya menyuguhi makanan yang istimewa, sedangkan
pada hari kedua dan ketiga memberikan hidangan seperti yang dimakan
sehari-hari. Penting juga diperhatikan bahwa tuan rumah tidak diperkenankan
menjamu tamunya lebih dari tiga hari, karena termasuk kategori nafkah tidak
wajib, sebab hal itu dapat berdampak terhadap sektor perekonomian rumah tangga.
Kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah. [3]
Termasuk
kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan menampakkan
kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikannya.[4] Sikap yang ramah terhadap
tamu jauh lebih berkesan di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan
minuman yang mahal-mahal tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di
samping merupakan kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak, dengan
perkataan yang baik pula jangan sampai dalam bertamu itu hanya membicarakan hal
yang tidak penting dan hanya menimbulkan dosa dan seorang yang bertamu juga
harus senantiasa memperlihatkan sikap koperatif dan akhlak yang baik, sehingga
orang yang menerimanya merasa senang melayaninya.[5] Jika tamu yang datang
bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus
memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak
mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban
memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki.
Berikut adalah beberapa hadis yang berhubungan dengan
etika terhadap tamu:
Nabi Saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ. (رواه البخار)[6].
Artinya
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw.
telah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam”. (HR.Bukhori)
Demikianlah sebagian dari realisasi iman, yakni berusaha untuk
menghormati tamu, tetangga, dan dalam bertutur kata sehari-hari. Sebagaimana
telah dijelaskan pada hadits terdahulu bahwa kita ini merupakan makhluk sosial
yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, tapi ada orang yang pertama
menolong kita sebelum keluarga kita, yang jauh dari kita, yaitu tetangga,
mereka pertama dimintai bantuan jika kita mendapatkan kesulitan. Demikian juga,
jika ada yang bertamu ke rumah kita maka perlakukanlah dia dengan sebaik
mungkin, tapi yang pertama kita harus tunjukan yaitu sikap baik kita terutama
dalam bertutur kata, karena sebagaimana dijelaskan dalam sebuah keterangan,
“selamatnya seorang insan dalam terletak pada lidahnya”, mesikpun kita tidak
memiliki sesuatu untuk bisa dihidangkan maka berikanlah atau perlihatkanlah
muka yang manis dan tutur kata yang baik
Sebagaimana
dijelaskan kembali dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
عَنْ أَبِى الْخَيْرِ عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّهُ قَالَ قُلْنَا لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- إِنَّكَ تَبْعَثُنَا فَنَنْزِلُ بِقَوْمٍ فَلاَ يَقْرُونَا فَمَا تَرَى فِى
ذَلِكَ. قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنْ نَزَلْتُمْ
بِقَوْمٍ فَأَمَرُوا لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِى لِلضَّيْفِ فَاقْبَلُوا وَإِنْ لَمْ
يَفْعَلُوا فَخُذُوا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ الَّذِى يَنْبَغِى لَهُم(رواه لاابن
ماجة)ْ[7] ».
Artinya:
Dari Abu-Khair, dari
Uqbah bin ‘Amir, bahwasanya dia berkata: kami pernah bertanya kepada Rosulullah
SAW; Sesungguhnya engkau mengirim kami, lalu kami singgah di tempat suatu kaum,
namun mereka tidak mau menjamu kami sebagai tamu, maka apa pendapatmu dalam hal
itu?, Rosulullah SAW menjawab pertanyaan kami: Jika kalian singgah di suatu
kaum, lalu mereka memperlakukan kalian sebagai mana layaknya seorang tamu, maka
terimalah. Dan jika mereka tidak membuat demikian, maka ambillah dari mereka
hak tamu yang patut mereka berikan.(HR
Ibnu Majah)
Jika menjamu tamu janganlah sampai
menyulitkan diri kita sebagai tuan rumah, berikanlah yang sesuai dengan
kemampuan atau berikanlah hak yang layak untuk tamu. Dengan demikian, tamu
tersebut akan paham dengan keadaan kita. Tetapi, ada kewajiban kita sebagai
seorang tamu yang harus kita perhatikan, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah
hadits:
عَنْ أَبِيْ شُرَيْحٍ
الْخُزَاعِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ، وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ
وَلَيْلَةٌ، وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُقِيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى
يُؤْثِمَهُ قَالُوْ: يَارَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ؟ قَالَ: يُقِيْمُ
عِنْدَهُ وَلاَشَيْءَ لَهُ يُقْرِيْهِ.( رواه المسلم)[8]
Artinya:
Diriwayatkan
dari Abu Syuraih al-Khuza’i ra. Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Durasi
bertamu adalah tiga hari, dan jamuannya adalah sehari semalam. Seseorang tidak
boleh berada di rumah orang lain sampai membuatnya berdosa.’ Para sahabat
betanya, ‘Ya Rasulullah saw. bagaimana tamu yang membuat tuan rumah berdosa?’
Beliau menajwab, ‘yaitu tamu yang tinggal di rumah tuan rumah sedangkan tuan
rumah tidak mempunyai sesuatu untuk menjamunya. (HR. Muslim)
Sebagai
seorang tamu kita harus mengetahui kapan kita harus bertamu, jangan sampai
kedatangan kita mengganggu tuan rumah, dan kita harus tahu bagaimana keadaan di
dalam rumah tersebut, jangan sampai kita bertamu lebih dari tiga hari, karena
itu bukannya mendatangkan rahmat bagi tuan rumah, justeru akan mendatangkan
dosa bagi kita selaku seorang tamu. Karena itu akan mengganggu tuan rumah. Maka
perhatikanlah waktu untuk bertamu, meskipun berniat baik, tapi jika itu
mendatangkan madlarat bagi tuan rumah, janganlah kita lakukan, tapi cari waktu
yang tepat untuk bisa bertamu.[9]
a.
Ayat al-Qur’an
Dan berikut Ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan etika terhadap tamu:
ö@yd y79s?r& ß]Ïym É#ø|Ê tLìÏdºtö/Î) úüÏBtõ3ßJø9$# ÇËÍÈ øÎ) (#qè=yzy Ïmøn=tã (#qä9$s)sù $VJ»n=y ( tA$s% ÖN»n=y ×Pöqs% tbrãs3YB ÇËÎÈ sø#tsù #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& uä!$yÚsù 9@ôfÏèÎ/ &ûüÏJy ÇËÏÈ ÿ¼çmt/§s)sù öNÍkös9Î) tA$s% wr& cqè=ä.ù's? ÇËÐÈ
24. Sudahkah sampai
kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu
malaikat-malaikat) yang dimuliakan?
25. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke
tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu)
adalah orang-orang yang tidak dikenal."
26.
Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, Kemudian dibawanya
daging anak sapi gemuk.
27. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata:
"Silahkan anda makan”
Imam Ahmad rahimahullah dan sejumlah
ulama lainnya, seperti dikutip oleh Ibnu Katsîr Rahimahullah, berpendapat
wajibnya memberikan dhiyaafah
(jamuan) kepada orang yang singgah (tamu). Imam Ibnu Katsiir secara khusus
mengatakan: “ayat-ayat ini mengatur tata cara menjamu tamu.’’ Hal ini
berdasarkan ayat di atas dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Lihat Tafsir Ibni Katsîr, 7/420].
Berikut ini, pemaparan singkat yang
dilakukan oleh Nabi Ibrahim as saat memuliakan para tamunya.[10]
Menjawab ucapan salam dari tamu dengan jawaban yang lebih sempurna
1.
Nabi
Ibrahim as tidak bertanya terlebih dahulu: ” Apakah kalian mau hidangan dari
kami?”
2.
Nabi
Ibrahim as bersegera menyuguhkan makanan kepada tamu. Dikatakatakan oleh Syaikh
as-Sa’id sebaik-baik kebajikan ialah yang disegerakan. Karena itu, Nabi Ibrahim
as cepat-cepat menyuguhkan jamuan kepada para tamunya.
3.
Menyuguhkan
makanan terbaik yang beliau miliki, yakni, daging anak sapi yang gemuk dan
dibakar. Pada mulanya, daging tersebut tidak diperuntukkan untuk tamu. Akan
tetapi, ketika ada tamu yang datang, maka apa yang sudah ada, beliau hidangkan
kepada para tamu. Meski demikian, hal ini tidak mengurangi penghormatan Nabi
Ibrahim kepada tamu-tamunya.
4.
Menyediakan
stok bahan dirumah, sehingga beliau tidak perlu membeli di pasar atau di
tetangga.
5.
Nabi
Ibrahim as mendekatkan jamuan kepada para tamu dengan meletakkan jamuan makanan
di hadapan mereka. Tidak menaruh di tempat yang berjarak dan terpisah dari
tamu, hingga harus meminta para tamunya untuk mendekati tempat tersebut, dengan
memanggil, misalnya “kemarilah, wahai tamu”. Cara ini untuk lebih meringankan
para tamu.
6.
Nabi
Ibrahim melayani tamu-tamunya sendiri. Tidak meminta bantuan orang lain,
apalagi meminta tamu untuk membantunya, karena meminta bantuan kepada tamu
termasuk perbuatan yang tidak etis.
7.
Bertutur
kata sopan dan lembut kepada tamu, terutama tatkala menyuguhkan jamuan. Dalam
hal ini, nabi Ibrahim menawarkannya dengan lembut: “ Sudikah kalian menikmati
makanan kami (silahkan kamu makan)?” beliau as tidak menggunakan nada perintah,
seperti: “Ayo makan”. Oleh karena itu, sebagai tuan rumah, seseorang harus
memilih tutur kata simpatik lagi lembut, sesuai dengn situasinya.
Intinya yaitu tuan rumah seharusnya memuliakan tamunya yakni
dengan memberikan perlakuan yang baik kepada tamunya.[11]
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Memuliakan tamu adalah
memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Dalam sejumlah hadis di
atas dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga
malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah. Pada hari pertama sebaiknya
menyuguhi makanan yang istimewa, sedangkan pada hari kedua dan ketiga
memberikan hidangan seperti yang dimakan sehari-hari,
2. Jika ada yang bertamu ke rumah kita
maka perlakukanlah dia dengan sebaik mungkin, tapi yang pertama kita harus
tunjukan yaitu sikap baik kita terutama dalam bertutur kata, karena sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah keterangan, “selamatnya seorang insan dalam terletak
pada lidahnya”, mesikpun kita tidak memiliki sesuatu untuk bisa dihidangkan
maka berikanlah atau perlihatkanlah muka yang manis dan tutur kata yang baik
3. Jika
bertamu jangan sampai
kedatangan kita mengganggu tuan rumah, dan kita harus tahu bagaimana keadaan di
dalam rumah tersebut, jangan sampai kita bertamu lebih dari tiga hari, karena
itu bukannya mendatangkan rahmat bagi tuan rumah, justeru akan mendatangkan
dosa bagi kita selaku seorang tamu. Karena itu akan mengganggu tuan rumah
4. Berdasarkan ayat al-quran di atas maka Imam Ahmad rahimahullah dan sejumlah ulama lainnya, seperti
dikutip oleh Ibnu Katsîr rahimahullah, berpendapat wajibnya memberikan
dhiyaafah (jamuan) kepada orang yang singgah (tamu). Imam Ibnu Katsiir secara
khusus mengatakan: “ayat-ayat ini mengatur tata cara menjamu tamu.
DAFTAR PUSTAKA
Majah, Ibnu. Sunan
Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikri, cet II, 1993 M ).
Al-Bisri, Kamus Arab-Indonesia
Indonesia Arab, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999 M)
An-Nawawi,Imam.
Syarah Shahih Muslim, Terj. Wawan Djunaidi Soffandi, (Kairo: Darul
Hadits, 1994 M).
Perpustakaan
Nasional RI: Katalog dalam terbitan. Etika berkeluarga, bermasyarakat dan
berpolitik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2009 M)
Hasyim,
Husaini A. Madjid. Syarah Riyadhush Shalihin, (Surabaya: PT Bina Ilmu,
cet. III, 2006 M).
Hamka, Tafsir
Al-Azhar Jus II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
ETIKA TERHADAP TAMU
Makalah
ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
“Hadist
Pendidikan”
Disusun oleh:
Disusun oleh:
Kelompok
6
Ahmad
Khoirul Anam (210311031)
Intan
Nila Sari (210311032)
Wahyu
Tri Wibowo (210311033)
Wahyu
Suminar (21031134)
Santi
Kusumaningrum (210311035)
Sudarto
(210311036)
Kelas: TB.A
Dosen
Pengampu:
Zahrul
Fata
JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO 2012
(Beirut: Dar al-Fikri, cet II,
1993 M ) jild IV, hal. 397.
[3] Imam
An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Terj. Wawan Djunaidi Soffandi, (Kairo:
Darul Hadits, 1994 M), jilid 1, hal 508.
[4] Perpustakaan
Nasional RI: Katalog dalam terbitan. Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2009 M), hal. 339-342.
[5] Ibid, 342.
[6] Diriwayatkan
Bukhari dalam shahihnya, Kitab Adab, Bab dorongan untuk memuliakan
tetangga dan tamu (Beirut: Dar al-Fikri, 1993), jild. 1, hal 10.
[8] Husaini, Syarah Riyadhush Shalihin,
hal. 64.
[9] Ibid.
Comments
Post a Comment