SETTING SOSIAL BUDAYA DAN AGAMA ARAB PRA ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Arab sebelum (munculnya) Islam, dikenal sebagai bangsa yang sudah memiliki kemajuan ekonomi. Letak geografis yang cukup strategis; bahkan bangsa Arab telah dapat mendirikan kerajaan di antaranya Saba’, Ma’in dan Qutban serta Himyar yang semuanya berasa di wilayah Yaman.
Di sisi lain, terdapat kenyataan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dalam konteks geografis Arab, mengimplikasikan sebuah asumsi bahwa suatu pemahaman yang komprehensif terhadap al-Qur’an hanya mungkin dilakukan dengan sekaligus melacak pemaknaan dan pemahaman pribadi, masyarakat dan lingkungan mereka yang menjadi audiens pertama al-Qur’an, yaitu Muhammad dan masyarakat Arab saat itu dengan segala kultur dan tradisinya. Dan untuk memiliki pengertian yang sebenar-benarnya tentang asal mula Islam, maka satu hal yang perlu diketahui adalah bagaimana keadaan Arab sebelum adanya Islam, Muhammad, dan sejarah Islam terdahulu.Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai kondisi Arab Pra-Islam. Terkait keadaan sosial-budaya, geografis, karakter masyarakat, dan kepercayaan yang mereka anut.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah, sebagai berikut:
1.      Bagaimana kondisi sosial bangsa Arab pra Islam?
2.      Bagaimana kondisi budaya bangsa Arab pra Islam?
3.      Bagaimana kondisi geografi bangsa Arab pra Islam
4.      Bagaimana karakter bangsa Arab pra Islam?
5.      Bagaimana kondisi kepercayaan dan agama yang dianut oleh bangsa Arab pra Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kondisi Sosial Bangsa Arab
Sebelum Islam datang wilayah sekitar semenanjung Arabiyah dilatarbelakangi oleh dua imperium, Romawi Timur di sebelah barat dengan ibukota di Bizantini yang kemudian nama ini diubah menjadi konstantinopel di sebelah Barat dan imperium Persia di sebelah Timur. Wilayah utama Romawi Timur sangat luas meliputi Syria, Palestina, Mesir, Turki, Asia Kecil, dan sebagian kecil Eropa.[1]
Kondisi sosial politik internal masyarakat Arab menjelang kedatangan Islam dapat dikatakan terpecah-pecah, tidak mengenal kepemimpinan sentral. Dalam struktur masyarakat Arab terdapat kabilah sebagai intinya. Ia adalah organisasi keluarga besar yang biasanya hubungan antara angota-anggotanya terikat oleh pertalian darah atau nasab. Akan tetapi, ada kalanya hubungan seseorang dengan kabilahnya disebabkan oleh ikatan perkawinan, suaka politik atau karena sumpah setia. Kabilah dalam masyarakat Badui, di samping karena ikatan keluarga juga karena ikatan politik. Sebuah kabilah dipimpin oleh seorang kepala yang disebut syaikh al kabilah yang biasanya dipilih dari salah seorang anggota yamg usianya paling tua. Solidaritas kesukuan atau ‘ashabiyah qobliyah dalam kehidupan masyarakat Arab sebelum Islam terkenal amat kuat. Hal ini diwujudkan dalam bentuk proteksi kabilah atau seluruh anggota kabilahnya. Kesalahan seorang anggota kabilah terhadap kabilah lain mennjadi tanggungjawab kabilahnya, sehingga ancaman terhadap salah seorang anggota kabilah berarti ancaman terhadap kabilah yang bersangkutan. Oleh karena itu, perselisihan perorangan hampir selalu menimbulkan konflik antar kabilah yang acap kali melahirkan peperangan yang berlangsung lama. Dalam masyarakat yang berperang, maka nilai wanita menjadi sangat rendah. Selain itu, kebudayaan mereka tidak berkembang akibat perang yang terus menerus.[2]
B.     Kondisi Budaya Bangsa Arab
Kata peradaban secara etimologi adalah terjemahan dari kata Arab al- hadharah. Istilah arab ini juga sering diterjemahakan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebudayaan”. Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta “budhayah” ialah bentuk jamak dari “budhi” yang berarti akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Dalam bahasa Arab, kata kebudayaan disebut “al-tsaqofah” masdar dari tsaqifa-yatsqafu yang artinya pendidikan atau pengajaran. Sedangkan dalam bahasa Inggris kata kebudayaan disebut “culture” dan dalam bahasa Belanda “cultur”, kemudian dalam bahasa latin disebut “colere”, dan “wen-hus” untuk bahasa Tionghoa.[3]
Kebudayaan menurut para Ahli:
a.       Sidi Gazalba
Kebudayaan adalah cara berfikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial (masyarakat) dalam suatu ruang dan waktu.
b.      E. B. Taylor
Kebudayaan adalah suatu kesatuan jalinan yang meliputi pengetahuan, kesenian, sosial, hukum, adat, dan tiap kesanggupan yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

c.       F. Butts
Kebudayaan adalah seluruh patokan yang membimbing tingkah laku manusia, baik individu maupun masyarakat, yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, lembaga-lembaga keagamaan, demikian pula kepercayaan, gagasan, dan cita- cita hidup.
d.      Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya.[4]
Peradaban Arab adalah akibat pengaruh dari budaya bangsa-bangsa disekitarnya yang lebih dahulu maju daripada kebudayaan dan peradaban Arab. Pengaruh tersebut masuk ke Jazirah Arab melalui beberapa jalur, yang terpenting diantaranya adalah:
a)      Melalui hubungan dagang dengan bangsa lain
melalui jalur dagang ini bangsa Arab berhubungan dengan bangsa Siria, Persia, Habsyi, Mesir (Qibthi), dan Romawi yang semuanya telah mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme.
b)      Melalui kerajaan-kerajaan protektorat, Hirah, dan Ghassan
Melalui kerajaan protektorat, banyak berdiri koloni-koloni tawanan perang Romawi dan Persia di Ghassan dan Hirah. Penganut agama Yahudi juga banyak mendirikan koloni di Jazirah Arab, yang terpenting diantaranya adalah Yatsrib. Penduduk koloni ini terdiri atas orang-orang Yahudi dan orang- orang Arab yang menganut agama Yahudi.
c)      Masuknya misi Yahudi dan Kristen
Mayoritas penganut agama Yahudi pandai bercocok tanam dan membuat alat-alat dari besi, seperti perhiasan dan persenjataan. Sama dengan penganut agama Yahudi, orang-orang Kristen juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Hellenisme dan pemikiran Yunani. Aliran kristen yang masuk ke Jazirah Arab ialah aliran Nestorian di Hirah dan Aliran Jacob- Barady di Ghassan. Daerah Kristen yang terpenting adalah Najran, sebuah daerah yang subur.[5]
Meskipun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya pada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Berhala-berhala itu dijadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk. Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang kebangkitan Islam. Orang-orang Arab adalah orang yang bangga, tetapi sensitif. Kebanggaan itu disebabkan bahwa bangsa Arab memiliki sastra yang terkenal, kejayaan sejarah Arab, dan mahkota bumi pada masa klasik dan bahasa Arab sebagai bahasa ibu yang terbaik di antara bahasa-bahasa lain di dunia. [6]
Kata Makkah sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW dan sekaligus sebagai tempat pertama Rasulullah menyampaikan ajaran islam, dimana Ka’bah sebagai lambang dan pusat kehidupan sosial budaya bangsa Arab, juga merupakan pusat perdagangan atau perekonomian dan sosial budaya umumnya pada masa itu. Di samping itu bangsa Arab juga memiliki keahlian dalam bidang sastra dengan cara penyiar yang terkenal. Mereka sangat menghargai syair-syair yang indah dan para penyiar dihormati demi menjadi kebanggaan masyarakat.
Situasi budaya yang demikian tentunya sangat mendukung bagi tumbuh berkembangnya peradaban islam yang bersumber pada al-Qur’an, kitab suci yang memiliki nilai sastra sangat tinggi. Selanjutnya, kebiasaan dan kekuatan daya hafal mereka luar biasa atas syair-syair Arab.[7]
Kehidupan masyarakat Arab berpindah-pindah dari satu ke lain tempat yang dianggap dapat memberikan kemudahan untuk hidup. Kondisi alam semacam ini membuat mereka bersikap sebagai pemberani dan bersikap keras dalam mempertahankan prinsip dan kepercayaan. Kondisi ini pula yang membuat mereka harus menguasai seperangkat ilmu dan ketrampilan untuk hidup sesuai dengan lingkungannya. Misalnya, mereka menguasai ilmu meramal jejak dan peristiwa alam yang akan terjadi, seperti kapan turun hujan, di mana terdapat mata air, dan di mana terdapat sarang binatang buruan serta binatang buas. Di siang hari mereka mampu membaca jejak melalui padang pasir, sedangkan di malam hari mereka menggunakan bintang-bintang. Karena itu, ilmu-ilmu perhitungan (semacam ramal) dan perbintangan, dalam batas-batas tertentu, berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum Islam.[8]
C.    Kondisi Geografi Bangsa Arab
Jazirah dalam bahasa Arab berarti pulau. Jadi “Jazirah Arab” berarti “pulau Arab”. Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu dengan “Shibhul Jazirah” yang dalam bahasa Indonesia berarti “Semenanjung”. Dilihat dari peta, Jazirah Arab berbentuk persegi panjang yang sisi-sisinya tidak sejajar. Batasan-batasan alam yang membatasi Jazirah Arab adalah :
Di bagian barat:berbatasan dengan Laut Merah.
Di bagian timur:berbatasan dengan Teluk Arab.
Di bagian utara:berbatasan dengan Gurun Irak dan Gurun Syam.
Di bagian selatan:berbatasan dengan Samudra Hindia.
Jazirah Arab terbagi atas dua bahagian yaitu bagian tengah dan bagian tepi. Setiap bagian memiliki bentangan alam tersendiri. Bagian tengah terdiri dari daerah pegunungan yang amat jarang dituruni hujan. Di bagian tengah inilah orang Badui tinggal. Bagian tengah dari Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian yang lebih kecil yaitu: Bagian utara yang disebut Najed dan bagian selatan yang disebut Al-Ahqaf. Bagian selatan penduduknya amat sedikit. Karenanya bagian ini disebut Ar-Rab'ul Khali (tempat yang sunyi). Jazirah Arab bagian tepi merupakan sebuah pita kecil yang melingkari Jazirah Arab. Pada bagian tepi ini, hujan yang turun cukup teratur. Bagian tepi inilah yang didiami oleh orang atau penduduk kota. Sedangkan ahli–ahli ilmu purba membagia Jazirah Arab menjadi tiga bagian :
Arab Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletek di sebelah barat daya lembah Syam.
Arab Deserta, yaitu daerah Syam sendiri.
Arab Felix, yaitu negeri Yaman yang terkenal dengan sebutan “Bumi Hijau”.[9]
Pada dsarnya bangsa Arab adalah penduduk asli jazirah Arab. Semenanjung yang terletak di bagian barat daya Asia dan merupakan semenanjung terbesar dalam peta dunia dengan luas wilayah sekitar 1.745. 900 km2 ini, sebagian besar permukaannya terdiri dari padang pasir. Para  ahli geologi mengatakan bahwa wilayah itu pada mulanya merupakan bagian yang tidak terpisahlan dari dataran sahara (kini dipisahkan oleh Lembah Nil dan Laut Merah) dan kawasan berpasir yang menyambungkan Asia melalui persia bagian tengah ke gurun gobi. Secara umum iklim di jazirah Arab amat panas. Bahkan termasuk yang paling panas dan paling kering di muka bumi. Tidak terdapat satu sungaipun di jazirah ini, kecuali di bagian selatan, yang selalu berair dan mengalir sampai ke laut, selain wadi-wadi (lembah-lembah) yang hanya berair selama turun hujan. Padahal hujan hampir tidak pernah turun di kawasan padang pasir yang luas ini.[10]
D.    Karakter Bangsa Arab
Kondisi alam memiliki pengaruh besar baik dari bentuk fisik dan psikis. Orang-orang arab bertubuh kekar, kuat dan mempunyai daya tahan tubuh yang tangguh, karena orang-orang yang lemah telah diseleksi oleh alam itu sendiri untuk dikeluarkan dari kehidupan di dunia. Sedangkan pengaruh pada psikis ialah telah melahirkan watak-watak keras baik yang positif maupun negatif. Nourouzzaman Shiddiqie menjelaskan sebagai berikut:
1.      Watak-watak negatif meliputi:
a.       Sulit bersatu.
b.      Gemar berperang.
c.       Kejam.
d.      Pembalas dendam (vendetta).
e.       Angkuh dan sombong.
f.       Pemabuk dan penjudi.
2.      Watak-watak positif meliputi:
a.       Kedermawanan.
b.      Keberanian dan kepahlawanan.
c.       Kesabaran.
d.      Kesetiaan dan kejujuran.
Selain itu, masyarakat yang berada dalam pemilahan antara jazirah tengah dan pinggiran mempunyai beberapa ciri yang istimewa. Untuk yang pertama akan dibahas tetang ciri dan keistimewaan dari masyarakat gurun dari jazirah Arab.
1.         Nasab murni.
2.         Mempunyai bahasa yang masih murni.
3.         Bersifat kesukuan.[11]
Beberapa sifat buruk yang tertera di atas, membuat masyarakat Arab pra Islam memiliki kebiasaan yang tidak baik. Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya, yang disebut wanita pelacur.
3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami tanpa da batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.
Perzinahan mewarnai setiap lapisan mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu. Kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa.
Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan.
Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.[12]
E.     Kondisi Kepercayaan Bangsa Arab
Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut agama yang mengakui bahwa Allah sebagai Tuhan mereka. kepercayaan kepada Allah tersebut tetap diyakini oleh bangsa Arab sampai kerasulan Nabi Muhammad SAW., hanya saja keyakinan itu dicampur-baurkan dengan takhayul dan kemusyrikan, mensekutukan Allah dengan sesuatu dalam menyembah kepada-Nya, seperti jin, roh, hantu, bulan, matahari, tumbuh-tumbuhan, berhala dan sebagainya. Kepercayaan yang menyimpang dari agama yang benar itu disebut agama watsaniyah. Watsaniyah adalah agama yang mempersekutukan Allah dengan mengadakan penyembahan kepada aushab (batu yang dibentuk menjadi patung) dan ashaam (patung yang terbuat dari kayu, emas, perak, logam dan semua patung yang tidak terbuat dari batu).[13]
Mereka percaya ada hantu yang berkeliaran di padang pasir untuk mengganggu perjalanan musafir. Hantu itu disebut ghaul untuk jenis pria dan aimir untuk jenis perempuan. Mereka juga mempercayai kekuatan jimat-jimat yang berfungsi sebagia penangkal kejahatan seperti sihir dan gangguan jin atau setan. Azimat juga dipercayai dapat menyembuhkan penyakit-penyakit psikis atau mendatangkan penyakit psikis. Selain itu, mereka percaya terhadap roh, seperti roh hammah yang berada di dalam ular, karena itu membunuh ular dilarang keras (Tim Penyusun Depag RI, 1982:8-10).
Mayoritas bangsa Arab Jahiliyah menyembah berhala kecuali para penganut Yahudi dan Nasrani yang jumlahnya kecil. Selain itu, mereka menyembah matari, bintang dan angin. Bahkan terkadang ada yang menyembah batu-batu kecil dan pohon-pohon yang dianggap keramat. Mereka mempunyai berhala-berhala sesembahan, dan yang paling besar lagi terkenal adalah latta, mana, ‘uzza, dan hubal. Di sekeliling Ka’bah terdapat sekitar 360 berhala yang setiap tahun mereka kunjungi untuk disembah bersamaan dengan diselenggarakannya perayaan raya Ukadz. Dengan demikian, pada umumnya mereka tidak mempunyai kepercayaan kepada Tuhan yang Esa (monotheisme), dan tidak mempercaya hari pembalasan (akhirat) sebagaimana digambarkan dalam al-Quran sebagi orang-orang kafir dan musyrik.
Namun demikian, di sisi lain terdapat sejumlah orang yang kemudian dalam Islam disebut ahlul kitab (mereka yang memahami dan konsisten pada kitab suci taurat dan injil) dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang masih mempertahankan ajaran-ajaran agamanya seperti ajaran tentang ke-Esaan Tuhan (monotheisme).[14]






BAB III
PENUTUP
Keismpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Kehidupan sosial bangsa Arab pra Islam mereka terdiri dari suku-suku yang dipimpin oleh kabilah-kabilah.
2.      Orang-orang Arab pra Islam, banyak yang menyembah berhala, suka perang, tabiat dan perilakunya kurang baik bahkan membunuh bayi perempuan.
3.      Orang Aran pra Islam tidak menetap di satu tempat saja, akan tetapi berpindah-pindah mencari tempat yang nyaman dan banyak sumber makanan. Sedangkan orang pesisir menetap.
4.      Wilayah Jazirah Arab hampir seluruh bagiannya adalah padang pasir, bahkan merupakan tempat yang paling panas di dunia.
5.      Orang-orang Arab pra Islam, memiliki kepercayaan terhadap para roh, mistis, dan menyembah berhala.
6.      Pada masa Arab pra Islam sudah terdapat agama Kristen, Yahudi, dan Nasrani.
 Daftar Pustaka


Djuhan, Muh. Widda. Sejarah Peradaban Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press. 2011.
Fadil SJ. Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah.  Malang: UIN Malang Press. 2008.
Nurhakim,Moh. Sejarah dan Peradaban Islam. Malang: UM Inpress. 2004.
Rofiq,Choirul. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Ponorogo: STAIN Ponnorogo Press. 2009.
Supriyadi,Dedi. Sejarah Peradaban Islam.  Bandung: Pustaka Setia. 2008.



[1] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UM Inpress, 2004), hlm. 11.
[2] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern (Ponorogo: STAIN Ponnorogo Press, 2009), hlm. 31.
[3] Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah  (Malang: UIN Malang Press, 2008), 11-13.
[4] Ibid.
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam  (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.54.
[6] Ibid., hlm.54-55.
[7] Fadil, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, hlm. 91.
[8] M. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam , hlm.18.
               
[10] Choirul Rofiq, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, hlm.27-28.
[11] Widda Djuhan, Sejarah Peradaban Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2011), hlm. 13-14.
                [12] Fadil, Pasang Surut Peradaban Islam, hlm. 61-62.

[14] Moh, Nurhakim, Sejarah dan Peradaban , hlm. 19-20.

Comments

Popular posts from this blog

INDIKATOR, DIMENSI, KONSEP, PROPOSISI DAN TEORI

PENILAIAN TES DAN NON-TES

PERBANDINGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN FILSAFAT PENDIDIKAN BARAT