Ilmu Nasikh dan Mansukh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril secara
berangsur-angsur. Dalam proses turunnya ayat-ayat al-Qur’an, ada ayat yang
turun berdasarkan keadaan umat dimasa itu. Sehingga ada ayat yang turun untuk
mempertegas atau menghapuskan hukum ayat yang terdahulu.
Untuk mengetahui hal tersebut lebih jelas muncullah
ilmu nasikh dan mansukh, sebab ketidak tahuan seseorang atas proses nasikh dan
mansukh dapat membuat hukum Islam menjadi rancau.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian nasikh dan mansukh?
2. Apa
saja dasar penetapan nasikh dan mansukh?
3. Apa
saja syarat-syarat Nasikh?
4. Apa
saja macam-macam nasikh dan mansukh?
5. Apa
pendapat ulama’ tentang nasikh dan mansukh?
6. Apa
saja ayat-ayat nasikh dan mansukh itu?
7. Apa
saja hikmah nasikh?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
A. Pengertian
Nasikh
Nasikh
menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapuskan menghilangkan, atau yang
memindahkan atau yang mengutip/menyalin serta mengubah dan mengganti. Jadi
hampir sama dengan pengertian nasakh menurut bahasa. Bedanya nasakh itu kata
masdar sedangkan nasikh itu isim fa’il, sehingga berarti pelakunya.
Sedangkan pengertian
nasikh menurut istilah, ada dua macam yaitu[1]
:
a. Nasikh
ialah hukum syarak atau dalil syarak yang menghapuskan/mengubah hukum /dalil
syarak yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang
dibawahnya. Dalam contoh penghapusan kewajiban bersedekah kalau akan menghadap
Rosulullah SAW, nasikhnya ialah ayat 13 surat Al-Mujadilah yang menghapuskan
/mengubah kewajiban dari ayat 12 surat Al-Mujadilah itu diganti dengan bebas
dari kewajiban bersedekah tersebut.
b. Nasikh
itu ialah allah SWT. Artinya bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan
hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah allah SWT tidak ada yang lain.
Sebab dalam hukum syarak itu hanya dari Allah SWT tidak dari yang lain dan juga
tidak diubah atau diganti oleh yang lain. Dan sesuai pula dengan penegasan
Allah SWT dalam firman-Nya :
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
Artinya :
“Apa
saja ayat yang Kami nasakhkan atau yang Kami jadikan (manusia) melupakannya,
tentu Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya” (QS. Al-Baqarah :106)
B. Pengertian
Mansukh
Mansukh
menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus atau dihilangkan/dipindah ataupun
disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’ mansukh ialah hukum
syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang belum diubah dengan
dibatalkan dan diganti dengan yang baru yang kemudian.
Tegasnya,
dalam mansukh itu ialah berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah
dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi[2].
2. Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan
Mansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan
bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus),
ketiga dasar adalah [3]:
a. Melalui
pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya
b. Melalui
kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
c. Melalui
studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun sehingga disebut nasikh dan
mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh
Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa
ditetapkan melalui prosedur ijtihad pendapat ahli tafsir karena adanya
kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya atau belakangnya
keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
3. Syarat-syarat Nasikh
1. Hukum
yang dinasikh harus ditetapkan dengan dalil syar’i.
2. Dalil
Nasikh haruslah dalil syar’i.
3. Antara
dali syar’I yang pertama dan kedua harus memiliki kontradiksi.
4. Antara
dalil atau hukum syar’I yang pertama dan kedua harus ada rentang waktu ( hukum
yang pertama harus pernah berlaku ).
4. Macam-macam Nasikh dan Mansukh
1. Macam-macam
nasikh
Macam-macam nasikh yang
terjadi dalam al-Qur’an itu ada tiga yaitu :
a. Menasikh
bacaan ayat dan hukumnya sekaligus.
Yaitu menghapuskan
bacaan ayat dan hukum isinya sekali, sehingga bacaan ayatnya sudah tidak ada
dan bahkan tulisan lafal ayatnyapun telah dihapus dan diganti dengan ketentuan
lain. Contohnya seperti penghapusan ayat yang mengharamkan kawin dengan saudara
sepersusuan karena bersama-sama menetek kepada seorang ibu dengan sepuluh kali
susuan yang dinasakh dan diganti dengan lima kali susuan.
b. Menasikh
hukumnya tanpa menasikh bacaannya.
Yaitu tulisan dan bacaan ayatnya
masih boleh dibaca, tetapi isi hukum ajarannya sudah dinasakh, sudah dihapuskan
dan diganti dengan yang lain, sehingga sudah tidak boleh diamalkan lagi.
Contohnya seperti ayat Al-Qur’an :
tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB Æù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ
Artinya :
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kalian dan
meninggalkan beberapa istri, hendaklah berwasiiat untuk istri-istrinya itu,
(yaitu) memberi nafkah hingga setahun
lamanya dengan tidak disuruh pindah”. (QS. Al-Baqarah: 240)[4]
Dr.
Shubhi Ash-Shalih dalam bukunya Mabahits
Fi ‘Ulumil Qur’an menganggap aneh ada nasakh macam kedua ini. Beliau
mempertanyakan, apa hikmahnya menghapuskan hukum sedang bacaannya tidak? Lalu
Prof. Manna’ul Qaththan menjawab sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
itu sebagian dibaca untuk diketahui isi hukumnya untuk diamalkan juga dibaca
karena Al-Qur’an itu firman Allah, sehingga yang membaca akan mendapatkan
pahala.
b. Nasakh
itu pada umumnya untuk member keringanan. Karena itu, tidak dinasakhnya bacaan
ayat itu untuk mengingatkan nikmat Allah yang memperingan hukuman itu.
c. Menasakh
bacaan ayat tanpa manasakh hukumnya.
Yakni
tulisan ayatnya sudah dihapus sehingga sudah tidak dapat dibaca lagi, tetapi
hukum isinya masih tetap berlaku dan harus diamalkan.
Orang
yang tidak suka nasakh menanyakan, apa gunanya menasakh bacaan ayat sedang
hukumnya masih ada? Mengapa bacaannya tetap dibiarkan, agar tetap bisa dibaca
orang yang akan mengamalkan isi hukumnya.
Imam
Ibnu Jauzy dalam kitab Fununul Afnan Fi
‘Ajaibi Ulumul Qur’an menjawab, bahwa yang demikian itu untuk mengecek
sampai dimana kekuatan umat Islam ini dalam berupaya dan berusaha mengamalkan
hukum ajaran Tuhan, meski hanya berdasarkan dugaan tanpa menunggu dalil yang
qath’i. orang yang imannya tebal, seperti nabi Ibrahim akan bersegera
mengamalkan perintah Allah walaupun menyembelih anak kesayangannya, hanya
berdasarkan impian. Padahal impian itu merupakan dasar yang paling lemah.[5]
2. Macam-macam
mansukh[6]
a. Ayat
yang mansukh rasm (tulisan) dan hukumnya.
Telah
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallah’anhu
bahwa dia berkata, “Telah diturunkan sebuah ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam sehingga
saya mencatatnya dalam mushafku. Namun pada suatu malam ternyata permukaan
mushafitu hanya berwarna putih (tanpa tetera sebuah tulisan pun diatasnya),
maka saya mengabarkan hal tersebut kepada rasulullah. Ternyata beliau bersabda,
“Tidakkah kamu tahu bahwa ayat terebut
telah diangkat tadi malam?”
Ketika
suatu ayat telah diangkat maka hukumnya juga sudah tidak berlaku lagi, sebagai
contoh adalah surat Al-Ahzaab yang dahulunya lebih panjang daripada surat
Al-Baqarah.
b. Ayat
yang dinasakh rasm-nya namun hukumnya masih tetap ada.
Diantara
aya Al-quran yang hanya dinask rasm-nya
saja, namun keberadaan hukumnya masih diperselisihkan adalah yang terdapat
dalam riwayat Muslim, dari Aisyah radiyallahu’anha bahwa dia telah mendikte
sekertarisnya (untuk menuis ayat yang artinya), “Peliharalah segala shalat
(mu), dan (peliharalah) shalat wustha dan shalat asar. Berdirillah karena Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu’.” Aisyah berkata, “saya telah mendengar ayat
itu dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam.”[7]
c. Ayat
yang dinasakh hukumnya namun rasm-nya masih tetap ada.
Suatu
ayat tidak dihapus namun hukumnya tidak berlaku lagi, dan telah digantikan
dengan ayat yang lain. Contohnya tentang arah kiblat, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
disitulah wajah allah” (QS. Al-Baqarah: 115) dengan ayat “Dan dari mana saja kamu keluar maka
palingkanlah wajahmu kearah Majidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian)
berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya” (QS. Al-Baqarah:150”.
5. Pendapat Ulama’ tentang Nasakh
Dilingkungan
para ulama’ dari beberapa agama, ada tiga pendapat mengenai nasakh ini, yaitu:
a. Masalah
“nasakh” tersebut, secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi.
Dalil-dalil mereka ialah sebagai
berikut :
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
Artinya :
“Apa saja ayat yang kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya.”
(QS. Al-Baqarah: 106)
#sÎ)ur
!$oYø9£t/
Zpt#uä
c%x6¨B
7pt#uä
ª!$#ur
ÞOn=ôãr&
$yJÎ/
ãAÍit\ã
(#þqä9$s%
!$yJ¯RÎ)
|MRr&
¤tIøÿãB
4
ö@t/
óOèdçsYø.r&
w
tbqßJn=ôèt
ÇÊÉÊÈ
Artinya :
“Dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya” (QS.
An-Nahl : 101)
Nash-nash
Al-Qur’an dan hadish jelas membolehkan adanya nasakh dan menunjukkan telah
terjadinya nasakh-nasakh itu.
Semua
perbuatan Allah SWT itu tidak terikat kepada sesuatu fatwa dengan tujuan-tujuan
tertentu. Karena itu, bisa saja Allah SWT itu memerintahkan sesuatu pada
sesuatu waktu dan menggantikannya dengan melarang sesuatu itu pada waktu yang
lain, karena Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui semua kemaslahatanhamba-Nya.
b. Masalah
“nasakh” itu tidak mungkin terjadi menurut akal ataupun menurut pandangan.
Pendapat
ini adalah dari seluruh kaum Nasrani masa sekarang ini, yang selalu menyerang
Islam dengan dalih “nasakh” ini. Pendapat ini dipilih oleh golongan Sam’uniyah
dari kaum Yahudi. Mereka mengingkari adanya nasakh dengan alasan, nasakh itu
kadang-kadang tanpa hikmah dan kadang-kadang ada hikmahnya, tetapi baru
diketahui setelah sebelumnya tidak diketahui.
Alasan
mereka tidak benar. Tidak benar bahwa nasakh itu tanpa hikmah, hal itu tidak
mungkin dikerjakan Allah SWT. Begitu pula alasan yang kedua bahwa hikmah nasakh
itu baru nampak kemudian, yang berarti tadinya belum diketahui. Hal inipun
tidak layak bagi Allah SWT. Sebab, hikmah nasikh atau hikmah yang dimansukh itu
sangat diketahui Allah SWT yang lebih mengetahui dari manusia.[8]
Sebenarnya,
kaum Yahudi mengakui bahwa syari’at Nabi Musa a.s itu menasakh kepada
hukum-hukum syari’at sebelumnya. Dan memang dalam nash-nash Taurat sendiri
terdapat beberapa nasakh. Contohnya, seperti diharamkannya beberapa macam
binatang yang sebelumnya dihalalkan. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam
firman Allah SWT :
n?tãur
úïÏ%©!$#
(#rß$yd
$oYøB§ym
¨@à2
Ï
9àÿàß
(
ÆÏBur
Ìs)t7ø9$#
ÉOoYtóø9$#ur
$oYøB§ym
öNÎgøn=tæ
!$yJßgtBqßsä©
wÎ)
$tB
ôMn=yJym
!$yJèdâqßgàß
Írr&
!$t#uqysø9$#
÷rr&
$tB
xÝn=tG÷z$#
5OôàyèÎ/
4
y7Ï9ºs
Oßg»oY÷zy_
öNÍkÈøót7Î/
(
$¯RÎ)ur
tbqè%Ï»|Ás9
ÇÊÍÏÈ
Artinya :
“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala bitang yang berkuku,
dan dari sapi dan domba Kami haramkan
atau mereka lemak dari kedua binatang tersebut, selain lemak yang melekat
dipunggung keduanya atau yang diperut besar dan usus atau yang bercampur dengan
tulang.” (QS. Ql-An’am :146)
c. Nasakh
itu menurut akal mungkin terjadi tetapi menurut syara’ dilarang
Pendapat
ini menurut pendirian golongan Inaniyah dari kaum Yahudi dan pendirian Abu
Muslim Al-Asfihani. Mereka mengakui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi
mereka mengatakan nasakh dilarang dalam syara’. Abu Muslim dan orang-orang yang
setuju dengan pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur’an :
w ÏmÏ?ù't ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB Èû÷üt/ Ïm÷yt wur ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz ( ×@Í\s? ô`ÏiB AOÅ3ym 7ÏHxq ÇÍËÈ
Artinya
:
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an)
kebatilan baik dari depan maupun dari belakang” (QS. Fushshilat: 42)
Mereka
menafsirkan ayat ini dengan anggapan, bahwa hukum-hukum Al-Qur’an itu tidak
batal/tidak dihapus selamanya. Padahal maksud ayat tersebut adalah bahwa
hukum-hukum Al-Qur’an itu tidak ada kitab lain sebelumnya yang membatalkan atau
menghapuskannya dan juga akan ada kitab setekah Al-Qur’an yang menghapuskan
hukum-hukumnya[9].
6.
Ayat-ayat
yang Diperselisihkan Terjadi Nasikh dan Mansukh
1.
Surat Al-Baqarah ayat 3
tûïÏ%©!$#
tbqãZÏB÷sã
Í=øtóø9$$Î/
tbqãKÉ)ãur
no4qn=¢Á9$#
$®ÿÊEur
öNßg»uZø%yu
tbqà)ÏÿZã
ÇÌÈ
Artinya:
“Mereka yang beriman kepada yang
ghaib, yang mendirikan shalat,
dan menafkahkan
sebagian risky yang Kami anugerahkan kepada mereka”
(QS. Al-Baqarah (2): 3)
Para ulama ahli tafsir
berbeda pendapat tentang makna kata nafkah dalam ayat tersebut hingga mencapai
empat versi:
a. Nafkah
yang diberikan kepada istri dan keluarga. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu
Mas’ud dan Hudzaifah
b. Nafkah
wajib yang tidak lain adalah zakat yang hukumnya fardhu. Pendapat ini
dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan Qatadah
c. Shadaqah
yang sifatnya sunnah. Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid dan Adh-Dhahak.
d. Sebuah
keterangan yang menyebutkan bahwa nafkah hukumnya wajib sebelum difardhukannya
kewajiban zakat.
Sebagian
penukil keterangan dalam tafsir mengira kalau seseorang wajib menahan harta
dengan jumlah cukup untuk dirinya dalam ukuran sehari semalam, barulah setelah
itu sisa dari harta yang cukup untuk perbekalannya selama sehari semalam
dibagi-bagikan kepada kaum fakir. Akan tetapi keterangan ini dinasakh dengan
ayat tentang zakat. Namun pendapat seperti ini tidak shohih. Karena redaksi
ayat nomor tiga dari surat Al-Baqarah diatas sama sekali tidak memiliki
kandungan keterangan seperti yang baru saja disampaikan. Ayat itu hanya
menjelaskan tentang pujian bagi orang yang mau berinfak. Namun yang jelas, ayat
ini mengisyaratkan seseorang untuk menunaikan ibadah zakat, karena kata infak
dalam ayat ini digabungkan dengan iman kepada hal gaib dan ibadah shalat yang
terletak sebelumnya.[10]
2. Surat
Al-Baqarah ayat 62
bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur (#rß$yd 3t»|Á¨Z9$#ur úüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u wur ì$öqyz öNÍkön=tæ wur öNèd cqçRtøts ÇÏËÈ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah hari kemudian dan beramal sholeh, mereka akan menerima
pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(QS. Al-Baqarah (2): 62)
Para ulama ahli tafsir memperselisihkan
makna ayat ini sampai tiga versi :
a. Makna
ayat itu adalah “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dari kalangan umat ini,
orang-orang Yahudi (mereka itu adalah para pengikut Musa), orang-orang Nasrani
(mereka itu para pengikut Isa) dan orang-orang Shabi’in (mereka itu adalah
orang-orang yang keluar dari kekufuran menuju Islam) adalah orang-orang yang
beriman, maksudnya orang-orang diantara mereka masih memiliki iman.”
b. Makna
ayat tersebut adalah “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanya dengan
lisannya (mereka itu adalah orang-orang yang munafik), orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in (mereka itu adalah orang-orang
yang kafir) adalah orang-orang yang beriman maksudnya orang-orang yang bisa
masuk kedalam keimanan dengan niat yang jujur.”
c. Makna
ayat itu adalah “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi yang
beriman, orang-orang Nasrani yang beriman dan orang-orang Shabi’in yang
beriman.”[11]
Kalau memperhatikan ketiga versi
pemaknaan ayat diatas, maka tidak ada alasan yang mendorong harus terjadinya
proses nasakh pada ayat tersebut. Namun ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini
telah dinasakh dengan firman Allah SWT,
`tBur
Æ÷tGö;t
uöxî
ÄN»n=óM}$#
$YYÏ
`n=sù
@t6ø)ã
çm÷YÏB
uqèdur
Îû
ÍotÅzFy$#
z`ÏB
z`ÌÅ¡»yø9$#
ÇÑÎÈ
Artinya:
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya.” (QS. Ali Imran(3): 85).
3. Surat
Al-Baqarah ayat 81
n?t/ `tB |=|¡x. Zpy¥Íhy ôMsÜ»ymr&ur ¾ÏmÎ/ ¼çmçGt«ÿÏÜyz Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $ygÏù tbrà$Î#»yz ÇÑÊÈ
Artinya:
“(Bukan
demikian), yang benar barang siapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh
dosanya, mereka itulah penghumi neraka, mereka kekal didalamnya.”
(QS. Al-Baqarah (2): 81)
Mayoritas
ulama ahli tafsir mengartikan perbuatan dosa pada ayat itu dengan perbuatan
syirik. Kalau memang diartikan seperti itu, maka tidak perlu lagi mengalami
proses nasakh.
As-Suddi
telah meriwayatkan dari beberapa syaikhnya bahwa yang dimaksud perbuatan dosa
dalam ayat itu adalah dosa yang oleh Allh SWT janjikan dengan neraka sebagai
balasannya. Kalau memang diartikan seperti ini, maka ayat ini bisa mengalami
proses nasakh. Ayat yang menjadi nasikh untuknya adalah firman Allah SWT
¨bÎ) ©!$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB crß Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ ôs)sù ¨@|Ê Kx»n=|Ê #´Ïèt/ ÇÊÊÏÈ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah maka
sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’(4):116)[12]
7.
Hikmah
Nasakh
Hikmah
nasakh secara umum ada 6 yaitu sebagai berikut :
a. Untuk
menunjukkan bahwa syariat agama Islam adalah syariat yang paling sempurna.
Kerena itu syariat agama Islam ini menasakh semua syariat dari agama-agama
sebelum Islam. Sebab, syariat Islam ini mencakup semua kebutuhan seluruh umat
manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam a.s yang
kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad
SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.
b. Selalu
menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam
semua keadaan dan disepanjang zaman.
c. Untuk
menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan
kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang
sempurna.
d. Untuk
menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan
pergantian-pergantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan
hukum-hukum Tuhan atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
e. Untuk
menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan
hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
f. Untuk
memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam.[13]
BAB
III
KESIMPULAN
Nasikh dan
mansukh terjadi karena Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai
dengan peristiwa yang mengiringinya. Sehingga suatu ayat yang turun terdahulu
dapat dimansukh oleh ayat yang baru.
Oleh karena itu
untuk mengetahui ayat Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh
mansukh dalam Al-Qur’an.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007
Anwar,
Abu, Ulumul Qur’an, Jakarta : Amzah, 2002
Jauzy,
Ibnul, Nasikh Mansukh, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002
Djalal,
Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu, 2000
[1] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya,
Dunia Ilmu, 2000), 120-121
[2]
ibid
[3] Al-Qaththan, op.cit, hal :234
[4] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Dunia Ilmu, Surabaya, 2000) hal:144-145
[5] ibid
[6] Ibnul Jauzy, Nasikh Mansukh,
(Jakarta, Pustaka Azzam, 2002), 39-46
[7] Lihat dalam shahih Muslim bi Syahri
An-Nawawi (V/129-130) dan juga dalam Al-Muwaththa ‘bi syahri Az-zarqani
[8] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Dunia Ilmu, Surabaya, 2000), 134-138
[9] ibid
[10] Ibnul Jauzy, Nasikh Mansukh, (Pustaka Azzam, Jakarta, 2002), hal: 48-49
[11] ibid
[12] ibid
[13] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Dunia Ilmu,
Surabaya, 2000), hal:148
Comments
Post a Comment