PENDIDIKAN dan PERUBAHAN PERILAKU di MASYARAKAT
PEMBAHASAN
Berikut
adalah beberapa surat dan ayat yang berhubungan dengan pendidikan dan perubahan
perilaku di masyarakat bagian petunjuk:
QS.
Al-Insan ayat 3
$¯RÎ)
çm»uZ÷yyd
@Î6¡¡9$#
$¨BÎ)
#[Ï.$x©
$¨BÎ)ur
#·qàÿx.
ÇÌÈ
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah
menunjukinya jalan petunjuk, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
Ayat
ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah, telah menunjuki ke jalan yang lurus,
ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Maka dengan bimbingan wahyu-Nya
yang disampaikan lewat Nabi Muhammad SAW manusia telah ditunjuki jalan yang
lurus dan mana pula jalan yang sesat Allah menunjukkan kepadanya kebaikan dan
kejahatan. Tuhan sendiri memberikan bimbingan hidup itu dengan menurunkan
wahyu, dengan meengirimkan rasul-rasul untuk memperkenalkan tentang adanya
Allah Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu
maka petunjuk Allah dapatlah dibagi atas (1) naluri, (2) hasil pendengaran dan
penglihatan yang bernama pengalaman (3) hasil renungan akal dan (4) petunjuk
Illahi dengan agama.[1]
Dari
perkataan "Sabil" yang terdapat dalam ayat ini tergambar keinginan
Allah terhadap manusia yakni membimbing manusia kepada hidayah-Nya sebab Sabil
lebih tepat diartikan sebagai petunjuk" dari pada jalan. Hidayah itu
berupa dalil-dalil keesaan Allah dan kebangkitan Rasul yang disebutkan dalam
kitab suci.
Sabil
(hidayah) itu dapat ditangkap dengan pendengaran, penglihatan dan pikiran.
Tuhan hendak menunjukkan kepada manusia bukti-bukti kewujudan Nya melalui
penglihatan terhadap diri (ciptaan) manusia sendiri dan melalui penglihatan
terhadap alam semesta, sehingga pikirannya merasa puas untuk mengimani-Nya.
Akan
tetapi memang sudah merupakan kenyataan bahwa terhadap pemberian Allah itu,
sebagian manusia ada yang bersyukur tetapi ada pula yang ingkar (kafir).
Tegasnya ada yang menjadi mukmin yang berbahagia, ada pula yang kafir. Dengan
sabil itu pula manusia bebas menentukan pilihannya antara dua alternatif yang
tersedia itu.
QS.
Ath-Thahaa ayat 50
tA$s%
$uZ/u
üÏ%©!$#
4sÜôãr&
¨@ä.
>äóÓx«
¼çms)ù=yz
§NèO
3yyd
ÇÎÉÈ
Artinya:
Musa berkata, ‘’ Tuhan
kami ialah yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya,
kemudian memberinya petunjuk.’’
Pada
ayat sebelumnya Allah Ta’ala menceritakan ihwal Fir’aun bahwa dia mengingkari
kepada Musa keberadaan Sang Pembuat, Pencipta, Tuhan alam semesta, Rabb dan
Pemilik semesta. ‘’Fir’aun berkata, Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?’’
Yakni siapakah yang mengutusmu? Sesungguhnya aku tidak mengenalnya dan aku
tidak pernah memberitahukan kepada kalian bahwa ada Tuhan selain aku.
‘’Musa
berkata, ‘’ Tuhan kami ialah yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu
bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’’ Sa’id bin Jubeir berkata,
‘’Allah memberikan kepada setiap makhluk sosok yang pantas baginya. Dia tidak
memberi binatang melata sosok anjing, tidak memberi anjing sosok domba. Allah
memberi segala perkara sosok yang pantas baginya. Tidak ada satu pun dari
ciptaan-Nya yang mirip dengan yang lain.’’[2]
Kata
tsumma/ kemudian, pada ayat ini bukan
dalam arti adanya tenggang waktu antara pemberian kepada tiap-tiap sesuatu
bentuk kejadiannya dan pemberian petunjuk kepadanya, karena bersamaan dengan pemberian
bentuk itu terjadi pula penciptaan nurani serta fitrah yang melekat pada diri
setiap ciptaan, yang dapat mengantar masing-masing melaksanakan fungsinya. Kata
kemudian itu mengisyaratkan bahwa peringkat pemberian hidayah lebih tinggi
kedudukannya daripada pemberian bentuk. Memang apalah arti bentuk yang indah
jika ia tidak berfungsi dengan baik, maka walau bentuknya tidak istemewa, ia
tetap tidak berharga. Kegagahan dan kecantikan seseorang atau kelincahan dan
kebugaran jasmaninya sama sekali tidak memiliki arti, jika ia tidak dapat
memfungsikannya sebagaimana dikehendaki oleh Sang Pencipta, lebih-lebih jika
digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan yang dikehendaki oleh
Penciptanya.[3]
Sayyid
Quthub menilai penjelasan Nabi Musa as dihadapan Fir’aun itu sebagai kesimpulan
yang sangat sempurna tentang dampak dan bukti-bukti Ketuhanan Sang Pencipta dan
Pengatur wujud ini. ‘’Dialah yang menganugrahi wujud bagi semua yang wujud, Dia
Yang menganugrahi ciptaan sesuai dengan bentuknya masing-masing, Dia yang
memberi masing-masing petunjuk untuk melaksanakan fungsi yang merupakan tujuan
penciptaannya. Bila seseorang mengarahkan pandangan mata dan hatinya dalam batas-batas
kemampuannya ke arah wujud alam raya ini, maka akan terlihat jelas olehnya
bukti-bukti kekuasaan Sang Pencipta dan Pengatur segala wujud, dari ciptaanNya
yang terkecil hingga yang terbesar. Alam raya yang demikian besar dan luas,
yang terdiri dari atom dan sel-sel yang tidak terhitung, makhluk tak bernyawa
atau bernyawa, semuanya dan setiap atom darinya berdenyut, dan setiap sel
hidup, setiap yang jidup bergerak, dan setiap bagian darinya berinteraksi
dengan wujud-wujud yang lain. Semua bergerak secar sendiri-sendiri dan
bersama-sama dalam ruang lingkup hukum-hukum yang ditetapkan Allah dan yang
telah terlengkapi dalam fitrah kejadian masing-masing. Semua bergerak tanpa
pertentanga, tanpa kesalahan dan tidak sesaat pun mereka bosan atau jemu. Setiapwujud
secara mandiri adalah alam tersendiri, yang bergerak dalam diri masing-masing
sel-sel, anggota dan pelengkap dirinya sesuai dengan yang ditetapkan Allah
dalam fitrahnya dan dalm batas hukum-hkum alam yang menyeluruh. Itu semua
terjalin dan terlaksana dengan sangat sesuai dan teratur. Setiap wujud secara
mandiri, jangankan keseluruhan wujud yang sangat luas ini tidak mampu dijangkau
oleh manusia. Ilmu dan upaya manusia tidak mampu mempelajari ciri keistimewaan serta
fungsi-fungsi dirinya. Ia tidak mampu mengetahui segala penyakitnya apalagi
mengobatinya. Ia baru mempelajarinya, bukan menciptakannya atau memberinya
petunjuk guna mengemban fungsinya. Yang ini sama sekali diluar kemampuan
manusia.’’ Demikian lebih kurang komentar Sayyid Quthub tentang penggalan ayat
diatas.[4]
QS.
As-Sajdah ayat 24
$oYù=yèy_ur öNåk÷]ÏB Zp£Jͬr& crßöku $tRÍöDr'Î/ $£Js9 (#rçy9|¹ ( (#qçR%2ur $uZÏG»t$t«Î/ tbqãZÏ%qã ÇËÍÈ
Artinya:
‘’ Dan Kami jadikan
diantara mereka teladan-teladan yang memberi petunjuk dengan perintah Kami,
ketika mereka bersabar dan adalah mereka sejak dahulu terhadap ayat-ayat kami
selalu yakin.’’
Petunjuk
yang datang kepada Bani Isra’il itu telah membuahkan antara lain lahirnya
pemimpin-pemimpin yang wajar diteladani diantara mereka, walau demikian ada
juga dikalangan Bani Isra’il yang menolaknya. Ayat di atas menyatakan: Dan Kami
jadikan diantara mereka yakni Bani Isra’il itu teladan-teladan, baik sebagai
nabi-nabi maupun ulama-ulama yang memberi petunjuk kepada masyarakatnya serta
mengantar mereka menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dengan bersabar dan
tabah menghadapi tantangan dan melaksanakan tugas-tugas mereka dan adalah
mereka sejak dahulu terhadap ayat-ayat kami secara khusus selalu yakin.[5]
Firman
Allah Ta’ala, ‘’Dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Mereka meyakini
ayat-ayat kami.’’ Karena mereka bersabar dalam menjalankan perintah-perintah
Allah dan dalam meninggalkan berbagai laranganNya, membenarkan para RasulNya,
dan mengikuti apa yang dibawa oleh mereka maka sebagian mereka menjadi pemimpin
yang menunjukkan manusia kepada kebenaran dengan perintahNya; pemimpin yang
menyeru kepada kebaikan menyuruh kepada kema’rufan, dan melarang dari
kemunkaran. Namun, setelah mereka mengganti, mengubah, dan menakwilkan, maka
kedudukan itu dirampas dari mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Mereka
mengubah firman dari ketentuan pemakaiannya sehingga tiada lagi amal saleh dan
keyakinan yang sahih. Karena itu Allah Ta’ala berfirman, ‘’dan sesungguhnya
Kami telah memberi Bani Israel Al-Kitab’’ karena mereka berpegang kepada okok
persoalan dan menjadi para pemimpin.[6]
QS.
Al-Baqarah ayat 78
öNåk÷]ÏBur
tbqÏiBé&
w
cqßJn=ôèt
|=»tGÅ3ø9$#
HwÎ)
¥ÎT$tBr&
÷bÎ)ur
öNèd
wÎ)
tbqZÝàt
ÇÐÑÈ
Artinya:
‘’ Dan diantar mereka
ada ummiyyun, tidak mengetahui al-Kitab tetapi amani belaka, dan mereka hanya
menduga-duga.’’
Kalau
ayat sebelum ini mengisyaratkan bahwa
orang-orang yang diuraikan sifatnya itu mengetahui tentang kitab suci, maka ada
lagi kelompok lain. Menurut al-Biqa’i, kelompok ini lebih buruk dari yang
disebut sebelumnya, karena yang sebelumnya adalah orang-orang yang tahu
sehingga dengan mengingatkan atau menunjukkan kekeliruannya, boleh jadi mereka
malu dan memperbaiki diri. Adapun yang dibicarakan ayat-ayat ini, mereka adalah
orang-orang bodoh, tidak mengerti lagi kers kepala dan buruk perangainya. Ayat
ini mengatakan: dan diantara mereka yakni orang Yahudi ada juga kelompok umiyyun, mereka tidak
mengetahui al-Kitab tetapi amani yakni agama-agama belaka, yang lahir dari
kebohongan yang disampaikan oleh pendeta-pendeta Yahudi tanpa ada dasarnya dan
mereka hanya menduga-duga.
Ummiyyun
adalah orang-orang yang tidak memiliki pengethuan tentang kita suci atau bahkan
mereka yang buta huruf.
Ayat
ini dapat merupakan alasan ketiga mengapa Nabi Muhammad saw dan umat islam
diperingatkan agar jangan mengharap banyak menyangkut keimanan orang-orang
Yahudi. Yaitu karena ada diantara mereka yang tidak mengetahui Kitab Taurat dan
kandungannya, sehingga keadaan mereka tidak seperti yang mereka ketahui dari
kitab suci Taurat bahwa Nabi Muhammad saw
adalah utusan Allah.
Kata
Amani dapat berarti angan-angan, harapan kosong, dongeng-dongeng, atau
kebohongan. Ia dapat juga berarti bacaan tanpa upaya pemahaman atau
penghayatan. Ada lagi yang mengartikannya sebagai ‘’pembicaraan yang
dibuat-buat’’. Sementara Abu Ubaidah menafsirkannya dalam arti ‘’hafalan yang
disampaikan tanpa buku.’’ Apapun makna yang dipilih yang jelas akhirnya ia
dalah kebohongan.[7]
Sebenarnya,
ketiga ayat tersebut (angan-angan, dongeng dan bacaan yang tidak dihayati)
dapat dipahami sebagai maksud ayat ini. Karena memang ketiganya merupakan sifat
sebagian orang Yahudi, bahkan sebagian orang yang beragama termasuk kita umat
Islam. Ini tercela, apalagi seperti bunyi penutup ayat itu mereka juga hanya
menduga-duga dalam segala hal yang berkaitan dengan agama. Sifat di atas dapat
mengantar pelakunya kepada kecelakaan.
QS.
Al-Baqarah ayat 171
ã@sVtBur tûïÏ%©!$# (#rãxÿ2 È@sVyJx. Ï%©!$# ß,Ïè÷Zt $oÿÏ3 w ßìyJó¡t wÎ) [ä!$tãß [ä!#yÏRur 4 BL༠íNõ3ç/ ÒôJãã óOßgsù w tbqè=É)÷èt ÇÊÐÊÈ
Artinya:
‘’Dan
perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti pengembala yang memanggil binatang
yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan
buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak berakal’’.
Maksudnya,
perumpamaan orang yang menyeru orang-orang kafir kepada kebenaran adalah
seperti pengembala yang berteriak. Rasul atau para Da’i didibaratkan dengan
pengembala, sedangkan para pengikut tradisi yang usang itu seperti bintang.
Mereka yang diajak itu sama dengan binatang. Keduanya mendengar suara panggilan
dan teriakan tetapi tidak memahami atau tidak dapat memanfaatkan suara
panggilan itu.[8]
Ayat ini dapat
juga berarti orang-orang itu dalam ibadah dan do’a mereka kepada Tuhan-Tuhan
mereka, seperti pengembala yang berteriak kepada binatangnya yang tidak
mendengar. Di sini, orang-orang kafir itu diibaratkan dengan pengembala dan
tuhan-tuhan yang mereka sembah di ibaratkan serupa dengan binatang-binatang.
Orang-orang kafir
yang mempertahankan tradisi usang itu pada hakikatnya tuli, tidak memfungsikan
alat pendengar mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar bimbingan; bisu,
tidak memfungsikan lidah mereka sehingga mereka tidak dapat bertanya dan
berdialaog.; buta, tidak mengfungsikan mata mereka sehingga mereka tidak dapat
melihat tanda-tanda kebesaran Allah, dan akhirnya mereka tidak dapat
menggunakan alat-alat itu untuk mendengar, melihat, dan berpikir sesuai dengan
yang dikehendaki Allah yang menganugerahkannya, dan dengan demikian mereka
tidak dapat menggunakan akalnya (yakni tidak ada kendali yang menghalanginya
melakukan keburukan, kesalahan, dan mengikuti tradisi orang tua walau mereka
sesat atau keliru). Orang-orang mukmin dilarang mengikuti mereka.
QS. Shaad ayat 29
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
Artinya:
‘’ Itulah
kitab yang telah Kami turunkan kepadamu yang banyak kebajikan dan berkatnya,
supaya mereka memahami ayat-ayatnya, dan supaya orang-orang yang berakal
mendapat pelajaran dari kitab itu.’’
Jalan untuk
memperoleh kebahagiaan dan nikmat yang kekal adalah mengikuti al-Qur’an, sebuah
kitab yang diturunkan oleh Allah untuk menerangkan segala sesuatu, untuk
menjadi petunjuk dan rahmat semua mukmin.
Ya, Muhammmad
kitab yang kami turunkan kepadamu adalah sebuah kitab yang banyak kebajikannya
dan besar berkatnya. Didalamnya terdapat penawar bagi manusia, cahaya dan
pelajaran bagi semua mukmin. Kitab itu Kami turunkan supaya mereka memahami
ayat-ayat dan supaya orang-orang yang berakal mengambil pelajaran dari kitab
itu.
Kesimpulan dari
ayat ini yaitu: Allah menerangkan keutamaan al-Qur’an kepada RasulNya untuk
menjadi petunjuk bagi manusia dan untuk melepaskan mereka dari kesesatan.
Apabila mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan mengerjakan petunjuk-petunjukNya,
berbahagialah mereka di dunia dan akhirat.[9]
QS. Al-Fatihah ayat 6-7
$tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ
Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu)
jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Tafsir Al-Fatihah: 6
Ihdinash
Shiratal al Mustaqim adalah Jalan untuk
memperoleh kebahagiaan dan nikmat yang kekal adalah mengikuti al-Qur’an, sebuah
kitab yang diturunkan oleh Allah untuk menerangkan segala sesuatu, untuk
menjadi petunjuk dan rahmat semua mukmin.Hidayah
yang dimohonkan dalam surat Al-Fatihah ini tertuang dalam “tunjukilah kami ke
jalan yang lurus lagi luas”. Menurut
sebagian Ulama merupakan hidayah, karena pada hakekatnya hidayah adalah ajaran
yang telah disampaikan para Nabi kepada seluruh manusia.
Dengan demikian dapat dipahami dalam arti sebagai permohonan
agar kiranya allah SWT, menganugrahkan kepada si pemohon melalui naluri
pancaindra, akal, dan agama kemampuan untuk menggapai jalan lurus lagi luas
itu. Sehingga kata ash-shirathal mustaqim tidak saja dirasakan di dalam naluri
atau dilihat, dicium, didengar, dan dirabaoleh pancaindra, tetapi juga
dibenarkan oleh akal serta dari saat ke saat memperoleh bimbingan dan
pengetahuan yang bersumber dari Allah SWT, kemudian diberi pula kemampuan untuk
melaksanakannya.[10]
Tafsir surat Al-Fatihah :7
‘’Jalannya orang-orang yang Engkau anugerahi
nikmat kepada mereka’’ menafsirkan ‘’jalan yang lurus’’. Orang-orang yang
telah dianugerahi nikmat oleh Allah adalah mereka yang di tuturkan dalam surat
an-Nisa’, ‘’Dan barang siapa yang
menaaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang di
anugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi para shiddiqin, orang-orang yang
mati sahid, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup
mengetahui.’’ (an-Nisa’:69-70)
‘’Bukan jalan
mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat’’, yakni
bukan jalan orang-orang yang di murkai. Mereka adalah orang yang rusak
kehendaknya; mereka mengetahui kebenaran, namun berpindah darinya. Dan ‘’bukan
jalannya orang-orang yang sesat’’, yaitu mereka yang tidak memiliki pengetahuan
dan menggandrungi kesesatan. Mereka tidak mendapat petunjuk kepada kebenaran.
Hal itu dikuatkan dengan laa guna
menunjukkan bahwa di sana ada dua jalan yang rusak: jalan kaum Yahudi dan
Nasrani.
Sesungguhnya
jalan orang-orang yang beriman itu mencakup pengetahuan akan kebenaran dan
pengamalannaya, dan kaum Yahudi tidak memiliki amal, sedang kaum Nasrani tidak
memiliki ilmu pengetahuan.oleh karena itu, kemunngkaran bagi kaum Yahudi dan
kesesatan bagi Kaum Nasrani. Karena orang-orang yang mengetahui, tetapi tidak
beramal, maka ia berhak mendapat kemurkaan dan berbeda dengan orang yang tidak
tahu. Kaum Nasrani menuju pada suatu perkara, yaitu mengikuti kebenaran, namun
mereka tidak benar dalam melakukannya sebab tidak sesuai dengan ketentuannya
sehingga mereka pun sesat. Baik Yahudi maupun Nasrani adalah sesat dan dimurkai
Allah.[11]
Surat Muhammad: 17
tûïÏ%©!$#ur (#÷rytG÷d$# óOèdy#y Wèd öNßg9s?#uäur óOßg1uqø)s? ÇÊÐÈ
Artinya:
Dan
oraang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka
dan memberikan balasan ketaqwaannya.
Dalam
ayat ini diterangkan keadaan orang yang berlawanan sifatnya dengan sifat orang
munafik itu. Mereka adalah orang yang telah mendapat petunjuk, beriman,
mendengar, memperhatikan dan mengamalkan ayat-ayat Alquran. Dada mereka
dilapangkan Allah, hati mereka menjadi tenteram bila mendengarkan ayat-ayat
Alquran atau bila mereka membacanya dan pengetahuannya semakin bertambah
tentang agama Allah. Allah SWT. menambah petunjuk lagi bagi mereka dengan jalan
ilham dan membimbing mereka untuk mengerjakan amal saleh serta memberi
kesanggupan kepada mereka untuk menambah ketaatan dan ketakwaan mereka.[12]
KESIMPULAN
1.
QS. Al-Insan ayat 3:
Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah, telah menunjuki ke jalan yang
lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Maka dengan bimbingan
wahyu-Nya yang disampaikan lewat Nabi Muhammad SAW manusia telah ditunjuki
jalan yang lurus dan mana pula jalan yang sesat Allah menunjukkan kepadanya
kebaikan dan kejahatan.
2.
QS.
Al-Thahaa ayat 50: ’ Tuhan kami ialah yang telah memberikan kepada tiap-tiap
sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.
3.
QS.
Sajdah ayat 24: Allah memberi petunjuk kepada masyarakatnya serta mengantar
mereka menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dengan bersabar dan tabah
menghadapi tantangan dan melaksanakan tugas-tugas mereka dan adalah mereka
sejak dahulu terhadap ayat-ayat kami secara khusus selalu yakin.[13]
4.
QS.
5.
QS. Al-Baqarah ayat 78:
Sebenarnya, (angan-angan, dongeng dan
bacaan yang tidak dihayati) merupakan sifat sebagian orang Yahudi, apalagi
seperti bunyi penutup ayat itu mereka juga hanya menduga-duga dalam segala hal
yang berkaitan dengan agama. Sifat di atas dapat mengantar pelakunya kepada
kecelakaan.
6.
QS. Al-Baqarah 171: perumpamaan orang yang menyeru orang-orang kafir kepada
kebenaran adalah seperti pengembala yang berteriak. Rasul atau para Da’i
didibaratkan dengan pengembala, sedangkan para pengikut tradisi yang usang itu
seperti bintang. Mereka yang diajak itu sama dengan binatang. Keduanya
mendengar suara panggilan dan teriakan tetapi tidak memahami atau tidak dapat
memanfaatkan suara panggilan itu.
7.
QS. As-Shaad ayat 29: Jalan untuk memperoleh kebahagiaan dan nikmat yang kekal
adalah mengikuti al-Qur’an, sebuah kitab yang diturunkan oleh Allah untuk
menerangkan segala sesuatu, untuk menjadi petunjuk dan rahmat semua mukmin.
8.
QS. Al-Fatihah ayat
6-7: Jalan untuk memperoleh kebahagiaan dan nikmat
yang kekal adalah mengikuti al-Qur’an, sebuah kitab yang diturunkan oleh Allah
untuk menerangkan segala sesuatu, untuk menjadi petunjuk dan rahmat semua
mukmin.
Jalan
orang-orang yang beriman itu mencakup pengetahuan akan kebenaran dan
pengamalannaya
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’i
, M. Nasib, Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Perss, 1999. jild.
III.
Shihab.
M. Quraish, Tafsir al-Misbah. Jakarta: PT. Lentera Hati, 2002. volume
15.
Ash-Shiddieqy.
Teungku M. Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur .Semarang: Pustaka
Rizki Putra. 2000.
Faqih,
Djawat. Al-Quran dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT. DANA BHAKTI WAKAF. 1987.
Hamka. Tafsir al-Azhar jus 29. Jakarta:
Pustaka Panjimas. 1983
[1] Hamka, Tafsir al-Azhar jus 29,(Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983),265.
[2] M. Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu
Katsir (Jakarta: Gema Insani Perss, 1999), jild. III, hal.246-247
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah (Jakarta: PT. Lentera Hati, 2002) volume 15, hal. 313
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, hal. 314
[5] Ibid, 205
[6] M. Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu
Katsir. Hal. 820-821
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, hal.78
[8] Ibid, hal. 358
[9] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir
Al-Qur’anul Majid An-Nuur (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 3507
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hal 64.
[11] M. Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu
Katsir. Hal. 64-65
[12] Djawat Faqih, Al-Quran dan Tafsirnya (yogyakarta: PT. DANA
BHAKTI WAKAF, 1987). Hal 346-347.
[13] Ibid, 205
Comments
Post a Comment