AL- QUSYAIRI
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu
tasawuf akhlaki, tasawuf irfani dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki merupakan
gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan
perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat
tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh jika
pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Oleh
karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan
praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah
pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.
Supaya lebih mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan bermasyarakat,
para pakar tasawuf membentuk kajian tasawuf ini pada ilmu tasawuf akhlaki, yang
didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW.
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه أحمد و البيهقي)
Salah
seorang tokoh tasawuf akhlaki adalah al-Qusyairi, untuk mengenal lebih dalam
mengenai al-Qusyairi maka patut kiranya kita ketahui mengenai sejarah beliau
serta ajaran yang diajarkannya sebagaimana akan dijelaskan dalam makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup
Syaikh Al- Qusyairi
Al- Qusyairi dilahirkan pada tahun
376 H, di Istiwa, kawasan Nishapur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada
masanya. Nama lengkapnya adalah Abd al- Karim bin Hawazin Al- Qusyairi.[1] Di
Nishapur beliau bertemu dengan gurunya, Abu Ali Al- Daqqaq, seorang sufi yang
terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri
majelis pengajian guruny dan dari gurunya itulah beliau menempuh jalan sufi.
Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari Fiqh pada seorang Faqih
yang bernama Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Al- Tusi (w. 405) dan mempelajari
ilmu kalam serta ushul Fiqh pada Abu Bakr bin Faruak (w. 406).[2]
Al- Qusyairi adalah seorang tokoh
terkemuka pada abad kelima hijriyah, yang cenderung mengadakan pembaharuan,
yakni dengan mengembalikan tasawuf ke landasan al- Qur’an dan as- Sunnah yang merupakan
cirri utamadari ajaran tasawuf sunni. Kedudukannya yang demikian penting
mengingat karya- karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran sunni abad- abad
ketiga dan keempat hijriyah, yang membuat terpeliharanya pendapat dan khasanah
tasawuf pada masa itu baik dari segi teoritis maupun praktis. Menurut B.
Khallikan, Al- Qusyairi adalah orang yang mampu mengompromikan syari’at dengan
hakikat. Demikian tinggi kedudukan Al- Qusyairi dalam bidang ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang tasawuf, sehingga beliau mendapat banyak sekali gelar,
seperti al- Imam, al- Ustadz, al- Syekh, Zayn al- Din dan juga al- Jami’ bayn
al- Syari’ah wa al- Haqiqah (yang
mengintegrasikan syari’at dan hakikat),[3]
panggilan tersebut merupakan panggilan kehormatan, karena posisinya sebagai
orang yang mempunyai derajat luhur dan agung dalam ilmu islam dan tasawuf. Al-
Qusyairi wafat di Naisabur, ahad pagi 16 Rabiul Awal tahun 465 H (1073 M) pada
umur 87 tahun.[4]
B.
Ajaran Syaikh
Al- Qusyairi
Al- Qusyairi terkenal karena beliau menulis
sebuah risalah tentang tasawuf, yang diberi nama Al- Risalah al- Qusyairiyah,
kitab ini ditulis al- Qusyairi untuk golongan orang- orang sufi dibeberapa
Negara Islam dalam tahun 473 H, kemudian tersiar luas keseluruh tempat karena
isinya ditujukan untuk mengadakan perbaikan terhadap ajaran- ajaran sufi yang
pada waktu itu banyak menyimpang dari sumber islam. Jika kitab al- Risalah
tersebut dikaji secara seksama, maka akan tampak jelas bagaimana al- Qusyairi
mengembalikan tasawuf keatas landasan doktrin Ahl Al- Sunnah, seperti
pernyataannya berikut ini:
“
Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-
prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga terpeliharalah doktrin
mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum
salaf maupun ahlus sunnah yang tidak tertandingi serta tidak mengenal macet.
Mereka pun tahu hak yang lama dan bias mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan
dari ketiadaannya. Oleh karena itu, tokoh aliran ini, Al- Junaid mengatakan
bahwa tauhid adalah pemisah antara hal yang lama dan hal yang baru. Landasan
doktrin- doktrin mereka pun didasarkan pada dalil-dalil dan bukti yang kuat
serta gambang. Dan ini seperti dikatakan Abu Muhammad Al- Jariri bahwa barang
siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya
membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.”[5]
Secara
implisit dalam ungkapan al- Qusyairi tersebut terkandung penolakan
terhadap para sufi syathahi yang
mengucapkan ungkapan- ungkapan penuh kesan tentang terjadinya perpaduan antara
sifat- sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya dengan sifat- sifat
kemanusiaan khususnya sifat barunya. Selain itu al- Qusyairi pun mengecam keras
para sufi pada masanya karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-
orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan
pakaian mereka. Beliau menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang pada
al- Qur’an dan as- Sunnah lebih penting dari pada pakaian lahiriah.
Al- Qusyairi memiliki
dasar- dasar pemikiran sebagai berikut:
1. Ma’rifat menurut Abdul Karim Al- Qusyairi
adalah seseorang yang sudah dapat mengenal Allah, dalam pengenalannya itu sudah
sampai kepada keyakinan yang kuat. Maka apabila seseorang itu sudah mencapai
pada tingkatan ma’rifat, maka setiap tingkah lakunya dan pola pikirnya haruslah
didasari dengan ilmu.
2. Ma’rifat adalah suatu sifat seseorang yang
telah mengenal Allah melalui sifat dan asma-Nya, dengan meninggalkan sifat-
sifat tercela, selalu ingat kepada Allah yang telah member karunia yang berupa
kondisi mental yang tangguh ini dan tanpa adanya keragu- raguan, tidak dapat
dipalingkan dengan apapun atau siapapun dan tetap dalam arah menuju ridha
Allah.
3.
Pokok
pikirannya yang lain telah terungkap pada kitab- kitabnya yang membahas antara
lain:
a.
Menyangkut
dasar- dasar keimanan yang menjadi landasan setiap perkembangan tasawuf.
b.
Uraian tentang
tokoh- tokoh sufi yang telah memantapkan tasawuf melalui uraian dalam pemikiran
mereka.
c.
Uraian yang menyangkut
berbagai pengertian aspek dri maqomat dan akhwal.
d.
Uraian yang
menyangkut pengertian, kedudukan dan kelayakan seseorang dalam kekeramatan
terutama di kalangan sendiri.[6]
BAB III
SIMPULAN
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin. Sedangkan
nasabnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin
Muhammad sedangkan panggilannya adalah Abul Qasim. Ia lahir pada bulan Rabiul
Awal tahun 376 H atau tahun 986 M di Astawa.
Ia bertemu gurunya, Abu Ali al-Daqqaq di naisabur seorang sufi
terkenal. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat
mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya
itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai
pemerintahan hilang dari benaknya, serta memilih jalan tarekat.
Beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul
Akhir 465 H./l073 M. Ketika itu usianya 87 tahun. Ia dimakamkan di samping
makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki
kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas
dirinya.
Mengenai ajarannya al-Qusyairi menekankan kembali kepada Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dengan mengikuti para sufi Sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah
seperti diriwayatkan dalam Risalahnya, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada
masanya mulai menyimpang dari perkembangan yang pertama, baik dari segi akidah
atau dari segi moral dan tingkah laku.
[1] Asmaran, Pengantar
studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, 318.
[2] Rosihon Anwar,
Akhlak tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009, 125.
[3] Mulyadhi Kartanegara,
Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga, 2006, 191.
[4] Moh. Sutoyo, Tasawuf
dan Tarekat jalan Menuju Allah, Madiun: Tegalarum, 2007,52.
[5] Anwar, Akhlak
Tasawuf, 126.
[6] Sutoyo, Tasawuf
dan Tarekat jalan Menuju Allah, 54.
Comments
Post a Comment