KONSEP ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Dalam filsafat pendidikan,
terdapat beberapa aliran yang kita kenal, yang mana aliran-aliran tersebut
mempunyai karakteristik sendiri-sendiri.
Filsafat pendidikan
merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat memiliki berbagai macam
aliran seperti eksistensialisme. Aliran eksistensialisme termasuk dalam
kategori aliran kontemporer.
Eksistensialisme menekankan
kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau cita-cita dalam dirinya
sendiri, melainkan merupakan suatu potensial untuk suatu tindakan. Adapun
aliran eksistensialisme dalam filsafat pendidikan akan kita bahas pada makalah
ini.
B. RUMUSAN
MASALAH
- Bagaimana konsep aliran filsafat pendidikan eksistensialisme?
- Bagaimana konsep pendidik dalam pendidikan?
- Bagaimana iniplikasi aliran filsafat pendidikan eksistensialisme terhadap pendidik dalam pendidikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. ALIRAN
FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME
- Pengertian Aliran Eksistensialisme
Kara “eksistensi” menurut
Save M. Dagun, berasal dari kata latin “existere” yang berarti keluar dan “sitere”
yang berarti membuat berdiri. Jadi, eksistensialisme berarti apa yang ada, apa
yang memiliki aktualisasi, apa yang dialami.[1]
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertianeksistensialisme
adalah suatu penolakan terhadap suatu pernikiran abstrak, tidak logic atau tidak
ilmiali. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakkan
rasional.[2]
- Ciri-Ciri Aliran Eksistensialisme
Kaum eksistensialisme, bahwa
setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah,
indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan
untuk bebas (free will) dan berkembang.[3]
Dengan demikian aliran ini
hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman dan situasi sejarah yang
ia alami dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif,
baginya segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh
dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan
hidupnya.[4]
Oleh karena itu, sikap
dikalangan kaum eksiszensialisme atzu penganut aliran ini seringkali tampak
aneh atau lepas dari norma-norma. umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih
banyak menjadi ukuran dalam sikap atau perbuatannya.[5]
- Sejarah Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal
dari pemikiran Sorenkier Kegard (Denmark: 1813-1855). Inti masalahnya ialah:
Apa itu kehidupan manusia? Apa tujuan dan kegiatan manusia? Bagaimana kita
menyatakan keberadaan manusia?. Pokok pernikir-nnya dicurahkan kepada pemecahan
yang konkret terhadap arti “berada” mengenai manusia.[6]
Pada periode selanjutnya,
muncul tokoh yang bernama Jean Paul Satre (1905-1981) dan Nietzhche
(1844-1900). Aliran eksistensialisme ini tampaknya berkembang menjadi radikal
dan ekstrim. Satre misalnya, menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
absolut dan tidak terbatas. Disamping kebebasan mutlak, Satre mengakui adanya
actuality (kefaktaan) yang merupakan garis batas, yaitu 1) adanya tempest
dimana manusia berada; 2) adanya masa lampau; 3) adanya lingkungan sekitar; 4)
adanya maut.[7]
Lebih ekstrim lagi, Nietzche
dengan lantang mengatakan bahwa “Tuhan telah mati dan dikubur". Oleh
karena itu,,para penganut agama tidak perlu lagi takut akan dosa.
Dengan mematikan Tuhan, lanjut Nietzche, manusia barn bisa bebas berbuat dan
bertindak. Sebab selama ini manusia dikukung oleh nilai-nilai agama, seperti
pahala dan dosa.[8]
Pada periode berikutnya
muncul tokoh-tokoh lainnya, diantaranya. Martin Buber, Martin Heideger, Karl
Jasper, Gabril Marcel dan Paul Tillich.[9]
- Tokoh-Tokoh Aliran Eksistensialisme
·
Soren Aabye Kiekeegard
Inti pemikirannya adalah
eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi
manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju kenyataan, dari cita-cita
menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari
manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan.
·
Friendrich Nietzche
Menurutnya manusia yang
bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to
power) dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang
mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat
dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
·
Karl Jespers
Memandang filsafat bertujuan
mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai
dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi
pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada 2
fokus pemikiran Jasper yaitu eksistensi dan transendensi.
·
Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah
keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada di
luar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri dan benda-benda yang
ada di luar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia
karena benda-benda yang berada di luar itu selalu digunakan manusia pada setiap
tindakan dan tujuan mereka.
·
Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan
manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menemukan dan
mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup
dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.[10]
- Prinsip-Prinsip Pendidikan Eksistensialisme
Menurut eksistensialisme,
pengetahuan kita tergantung pada pemahaman kita temang realitas, tergantung
kepada interprestasi kita tentang realitas. Pengetahuan yang diberikan di
sekolah bukan merupakan alat untuk memperoleh pekerjaan atau karier anak,
melainkan pengetahuan itu dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan
diri. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran
bagi dirinya sendiri.[11]
Menurut Buber kebanyakan
pendidikan merupakan paksaan. Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak
dilimpahkan melainkan ditawarkan. Pengetahuan yang akan diberikan kepada murid
harus menjadi bagian dari pengalaman pribadinya. Jadi pengetahuan yang
ditawarkan guru, tidak lagi merupakan sesuatu yang diberikan kepada murid,
melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.[12]
Subjek materi merupakan
materi dimana individu menemukan pemenuhan dirinya dan kesadaran akan dunianya.
Subjek yang dapat memenuhi tuntutan di alas diantaranya natural sciences,
sejarah, sastra, seni dan filsafat. Dan guru hendaknya selalu membimbing siswa
dan memberi semangat kepada muridnya. Dan siswa harus belajar keras seperti
gurunya.[13]
B. KONSEP
PENDIDIK DALAM PENDIDWAN
- Definisi Pendidik
Kata pendidik berasal dari
kata dasar didik, artinya memelihara, merawat dan memberi latihan agar
seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan. Selanjutnya dengan
menambahkan awalan “pe” menjadi pendidik yang artinya orang yang mendidik.[14]
Pendidik adalah orang dewasa
yang bertanggungjawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam
perkembangan jasmanirohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan
tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di muka bumf, sebagai makhluk sosial
dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.[15]
Di dalam ilmu pendidikan
yang dimaksud pendidik ialah semua yang mempengaruhi perkembangan seseorang
yaitu manusia, alam dan kebudayaan. Manusia, alam dan kebudayaan inilah yang
wring disebut dalam ilmu pendidikan sebagai lingkungan pendidikan.[16]
Islam mengajarkan bahwa
pendidik pertama dan utama yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik adalah kedua orang tua. Islam memerintahkan
kedua orang tua untuk mendidik diri & dan keluargannya, terutama
anak-anaknya agar mereka terhindar dari azab yang pedih.[17]
- Tugas Pendidik
Berhasil atau tidaknya
tujuan pendidikan sangat ditentukan oleh bagaimana pendidik memahami tugasnya.
Secara garis besar pendidik mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Membimbing
peserta didik
b. Menciptakan
situasi untuk pendidikan
c. Memiliki
pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan, pengetahuanpengetahuan keagamaan dan
lain-lainnya.[18]
- Karakteristik Pendidik
Menurut Syaiful Bahri
Djamarah, guru yang bertanggung jawab adalah guru yang memiliki karakteristik
di bawah ini:
a. Menerima
dan mematuhi norma, nilai-nilai kernanusiaan.
b. Memikul
tugas mendidik dengan bebas, berani, gembira (tugas bukan menjadi beban
baginya).
c. Sadar
akan nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatannya serta akibat-akibat yang
timbul.
d. Menghargai
orang lain, termasuk anak didik.
e. Bijaksana
dan hati-hati (tidak nekat, tidak sembrono, tidak singkat akal).
f. Takwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.[19]
- Kompetensi Pendidik
Karena pendidik sebagai
tenaga yang dipersiapkan untuk mendidik peserta didik secara profesional, maka
dalam konteks sistem pendidikan nasional seorang pendidik harus memiliki
kemampuan untuk mewujudkan pendidikan nasional. Agar bisa mewujudkan pendidikan
nasional seseorang dianggap mampu menjadi pendidik apabila memiliki kemampuan
yang antara lain menurut Idris dan Jamal terdiri dari:
a. Kemampuan
dalam mengembangkan kepribadian.
b. Menguasai
bahan bidang studi dan mengelola program belajar mengajar.
c. Mengelola
kelas menggunakan media dan sumber belajar.
d. Menguasai
landasan kependidikan.
e. Mengelola
interaksi belajar mengajar.
f. Menilai
prestasi peserta didik.
g. Mengenal
fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
h. Mengenal
dan menyelenggarakan administrasi.
i.
Memahami prinsip-prinsip dan penafsiran hasil
penelitian.
j.
Interaksi dengan masyarakat.[20]
C. IMPLIKASI
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSILISME TERILADAP PENDIDIK
Eksistensialisme menolak
bentuk kemutlakan rasional. Penganut aliran ini seringkali tampak aneh atau
lepas dari norms-norms umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak
menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatan.[21]
Pandangan eksistensialisme
terhadap pendidikan adalah:
- Pembimbing dan stimulate berfikir reflektif melalui panggilan pertanyaan-pertanyaan (inquiri)
- Bukan pemberi intruksi
- Memiliki kejuruan ilmiah, integritas dan kreatifitas
- Figure yang tidak mencampuri perkembangan minat dan bakat siswa.[22]
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMIPULAN
Dari uraian di alas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Eksistensialisme
adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis, atau
tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional.
2. Pendidik
adalah semua yang mempengaruhi perkembangan seseorang.
3. Implikasi
eksistensialisme terhadap pendidik adalah:
a) Pembimbing
dan stimulator berfikir reflektif melalui panggilan pertanyaan-pertanyaan
(inquiri)
b) Bukan
pemberi intruksi
c) Memiliki
kejuruan ilmiah, integnitas dan kreatifitas
d) Figure
yang tidak mencampuri perkembangan minat dan bakat siswa.
[1]
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam
Mulia, 2009), 28.
[2] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 30-31.
[3]
Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008).
[4]
Basuki dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan (Ponorogo: STAIN
Po Press, 2010), 29.
[5] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 31.
[6] Burhanuddin Salam, Pengantar
Pedagogik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 60.
[7]
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam
Mulia, 2009), 29.
[8] Ibid., 30.
[9] Burhanuddin Salam, Pengantar
Pedagogik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 60.
[10]http://sherlymaya.wordpress.com/2010/05/19/aliran-eksistensialisme-filsafat-masa-
kontemporer/ diakses tanggal 14 April 2012, pukul 19-30.
[11] Burhanuddin Salam, Pengantar
Pedagogik (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 61.
[12] Ibid., 62.
[13]Chaedar
Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), 106.
[14]
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam
Mulia, 2009), 139.
[15]
Abd. Aziz, Orientasi Sistem Pendidikan Agama di Sekolah (Yogyakarta:
Teras, 2010), 18.
[16]
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2008), 170.
[17]
Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Ciputat: PT
Ciputat Press, 2005), 42.
[18] Hasan Basri, Filsafat
Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 69.
[19] Ibid., 79.
[20]
Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam (Malang: UIN Malang Press,
2008), 71.
[21]
Basuki dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan (Ponorogo: STAIN
Po Press, 2010), 29.
[22] Ibid., 48.
Comments
Post a Comment