HADITS TENTANG PEDULI LINGKUNGAN
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Islam adalah agama rahmatan lil
alamin yang di dalamnya tidak hanya mengatur hubungan mannusia dengan Tuhannya
saja tapi pada lingkungan sosial dan juga pada lingkungan alam sekitar .
Lingkungan yang berada di sekeliling
kita baik berupa benda- benda hidup seperti binatang dan tumbuh- tumbuhan
ataupun berupa benda- benda mati harus dijaga kelestariannya. Karena
Apabila lingkungan yang berada di sekeliling kita tidak kita pelihara,
maka kemungkinan akan membawa mudarat bagi kita, sebaliknya jika linkungan kita
dipelihara , maka akan dapat memberikan kesejah teraan bagi kita .
Dinegara kita yang subur ini
allah telah menganugrahkan berbagai jenis tumbuh- tumbuhan yang dapat kita
mamfaatkan , baik secra langsugng maupun tidak langsung. dari tumbuh- tumbuhan
dapat kita mamfaatkan untuk makanan sehari- hari, untuk obat- obatan ,untuk
mambuat rumah peralatan rumah tangga , dan sebagainya . oleh karena itu maka
selayaknya kita menjaga dan memelihara tumbuh- tumbuhan sebagai bentuk rasa
sukur kita kepada allah SWT. Dan agar mamfaatnya bisa kita rasakan dan
mencegah kerusakannya supaya kita terhindar dari mudarat akibat kerusakannya .
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
hadits tentang menelantarkan lahan?
2.
Bagaimana
hadits tentang penanaman pohon adalah langkah terpuji?
3.
Bagaimana
hadits tentang larangan buang air kecil pada air yang tenang?
A.
HADITS
TENTANG LARANGAN MENELENTARKAN LAHAN
Hadits
حَدَثَنَا عَبْدِ
اللهِ بْنُ مُوْسَى: أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِي، عَنْ عَطَاءِ، عَنْ جَابِرْ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانُوْا يَزْرَعُوْنَهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ،
فَقَالَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا،
أَوْ لِيَمْنَحْهَا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.(رواه البخارى)[1]
Terjemah:
“Hadits dari Abdullah bin Musa, mengabarkan Auza’i dari ‘Athai dari
Jabir ra. berkata:Mereka biasa memberikan lahan untuk dikelola dengan imbalan
1/3, ¼ dan 1/2 , maka Nabi SAW. bersabda: “Barang siapa memiliki lahan, maka
hendaklah ia tanami atau ia serahkan kepada
saudaranya (untuk dimanfaatkan), apabila ia enggan melakukannya, maka
hendaklah menahan (tetap memiliki) tanah itu”.” (HR. Bukhori)
Maksud/Isi kandungan
Hadits di atas
mengandung pengertian bahwa seseorang yang memiliki lahan haruslah
memanfaatkannya sebagaimana mestinya, apabila tidak bisa memanfaatkannya maka
akan lebih baik jika diserahkan kepada saudaranya atau orang lain yang lebih
bisa memanfaatkan lahan tersebut. Tetapi jika orang tersebut tidak merelakan
lahannya untuk dikerjakan oleh saudaranya atau pun orang lain maka ia harus
memanfaatkannya dengan baik dan tidak menelantarkannya.
Pendapat para ulama
Al-Muhallab
menyimpulkan bahwa barangsiapa menanam di tanah orang lain, maka tanaman itu
untuk orang yang menanam dan dia berhak meminta kepada pemilik tanah untuk
memberikan upah bagi pekerjaan seperti itu.[2]
B.
HADITS
TENTANG PENANAMAN POHON ADALAH LANGKAH TERPUJI
Hadits
حَدَثَنَا قَتِيْبَةُ
بْنُ سَعِيْدٌ: حَدَثَنَا أَبُوْ عَوَانَة وَحَدَثَنِيْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ اْلمُبَارَكَ:
حَدَثَنَا أَبُوْ عَوَانَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم:مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ
غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ، أَوْ إِنْسَانٌ، أَوْ بَهِيْمَةٌ،
إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ وَقَالَ لَنَا مُسْلِمٌ: حَدَّثَنَا أَبَانُ: حَدَّثَنَا
قَتَادَةُ: حَدَّثَنَا أَنَسٌ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(رواه البخارى)[3]
Terjemah
“Hadits dari Qatibah ibn Sa’id, hadits dari Abu ‘Awanah dan hadits
‘Abdur Rahman ibn Mubarak, hadits dari Abu ‘Awanah, dari Qatadah dari Anas ra.
berkata: Rosulullah SAW. bersabda: “Tidaklah seorang musim menanam tanaman atau
menumbuhkan tunbuhan lalu tumbuhan itu di makan oleh burung, manusia atau hewan
ternak, melainkan hal itu menjadi sedekah baginya.”
Berkata seorang muslim kepada kami, Aban telah menceritakan kepada
kami, Qatadah telah menceritakan kepada kami, Anas telah menceritakan kepada
kami dari Rosulullah Saw.
Isi kandungan
Hadits diatas
mengandung pengertian bahwa betapa mulianya orang yang menanam pohon atau
mengadakan reboisasi. Walaupun seolah-olah itu pekerjaan yang sepele tetapi
sebenarnya sangat besar manfaatnya, misalnya dari hasil tanaman tersebut ia
dapat memberi makan hewan juga manusia jika tanaman yang ia tanam itu
menghasilkan makanan, selain itu juga kalau hasil tanamannya berupa pepohonan
yang besar seperti yang ada di hutan-hutan akan sangat bermanfaat atas
kelestarian air. Karena akar-akar dari pohon itu dapat menyerap air sehimgga dapat
menhghasilkan sumber air.
Selain itu Allah juga telah menjelaskan dalam firmannya:
QS. Al-Baqarah: 204-205
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ
عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (٤٠٢)
وَإِذَا
تَوَلَّى سَعَى فِي الأرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ
وَاللَّهُ لا يُحِبُّ الْفَسَادَ (٥٠٢)
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang
ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada
Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling
keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk
mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak,
dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”[4]
Seorang
muslim yang menanam tanaman tak akan pernah rugi di sisi Allah -Azza wa
Jalla-, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan
hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam lalu
diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka
kita sebagai penanam tetap mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil
tersebut berubah menjadi sedekah bagi kita.
Penghijauan
merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat bagi manusia di dunia
dan untuk membantu kemaslahatan akhirat manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam
oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu bisa menjadi
naungan bagi manusia dan hewan yang lewat, buah dan daunnya terkadang bisa
dimakan, batangnya bisa dibuat menjadi berbagai macam peralatan, akarnya bisa
mencegah terjadinya erosi dan banjir, daunnya bisa menyejukkan pandangan bagi
orang melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung dari gangguan tiupan
angin, membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi polusi udara, dan masih
banyak lagi manfaat tanaman dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di
lembaran sempit ini. Jika demikian banyak manfaat dari REBOISASI, maka tak
heran jika agama kita memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya.[5]
Pendapat para ulama
Al-Imam
Abu Zakariyya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy -rahimahullah- berkata menjelaskan
faedah-faedah dari hadits yang mulia ini, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan
menanam pohon dan tanaman, bahwa pahala pelakunya akan terus berjalan
(mengalir) selama pohon dan tanaman itu ada, serta sesuatu (bibit) yang lahir
darinya sampai hari kiamat masih ada. Para ulama silang pendapat tentang
pekerjaan yang paling baik dan paling afdhol. Ada yang berpendapat bahwa yang
terbaik adalah perniagaan. Ada yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah
kerajinan tangan. Ada juga yang menyatakan bahwa yang terbaik adalah bercocok
tanam. Inilah pendapat yang benar. Aku telah
memaparkan penjelasannya di akhir bab Al-Ath’imah dari kitab Syarh
Al-Muhadzdzab. Di dalam hadits-hadits ini terdapat
keterangan bahwa pahala dan ganjaran di akhirat hanyalah khusus bagi kaum
muslimin, dan bahwa seorang manusia akan diberi pahala atas sesuatu yang dicuri
dari hartanya, atau dirusak oleh hewan, atau burung atau sejenisnya”.[6]
C.
HADITS
TENTANG LARANGAN BUANG AIR KECIL PADA AIR YANG TENANG
Hadits
حَدَثَنَا اَبُوْ الْيَمَاِن قَالَ أَخْبَرَناَ شُعَيْبٌ قَالَ اَخْبَرَنَا
اَبُوْ الزِّنَادِ اَنَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ هُرْمَزُ الَاعْرَجَ حَدَثَهُ
اَنَّهُ سَمِعُ أَبَا هُرَيْرَةَ اَنَّهُ سَمِعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ نَحْنُ اْلآخِرُوْنَ السَّبِقُوْنَ وَ بِاِسْنَادِهِ قَالَ لَا يَبُوْ لَنَّ اَحَدُكُمْ فِى اْلمَاءِ
الدَّائِمِ الَّذِى لَا يَجْرِى ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيْهِ ( رواه البخارى)[7]
Terjemah
“Hadits dari Abu Yaman berkata telah mengabarkan kepada kami
Syu’aib mengabarkan kepada kami Abu Az-zinadi bahwa sesungguhnya Abdur Rahman
ibn Hurmaz al-a’raja dalam haditsnya
bahwasanya beliau mendengar dari Abu Hurairah bahwa beliau mendengar Rosulullah
SAW. bersabda kepada kami orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akhir
dalam sanadnya: “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kamu kencing dalam air yang diam
(menggenang) yang tidak mengalir kemudian seseorang mandi di dalamnya”.”
Isi kandungan
Hadits diatas
mengandung pengertian bahwa kita dilarang buang air kecil pada air yang
menggenanng karena air kencing tersebut akan menjadikan najis dan membuat air
menjadi mubadzir karenaair itu sudah tidak bisa digunakan lagi.
Pendapat para ulama
Sekelompok
ulama berpandapat bahwa kencing di air yang sedikit dan tidak mengalir hukumnya
makruh. Ada juga yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram. Sebab
kencing di air yang sedikit yang tidak mengalir bisa menyebabkan menjadi najis
dan mubadzir karena tidak bisa dipergunakan lagi.
Ada juga
sebagian ulama yang mengatakan bahwa hukumnya haram, sedangkan kencing di
selain air yang tenang hanya berhukum makruh. Hal ini tergantung pada kondisi
air itu sendiri. Apabila airnya berukuran banyak dan mengalir makatidak haram
kencing di air tersebut.
Menurut
Asy-syafi’i, kencing di air yang sedikit yang mengalir bisa menyebabkan air itu
menjadi najis, sedangkan kalau kencing pada air yang kapasitasnya banyak dan
mengalir, maka ukumnya hanya sebatas makruh.
Menurut Abu
Hanifah dan orang-orang yang sependapat dengannya, yakni para ulama yang
menganggap air dalam kolam yang hanya bisa bergerak dalam kolam itu tanpa ada
saluran yang bisa membuatnya mengalir akan berubah menjadi najis apabila
kemasukan benda najis.
Sedangkan
menurut Dawud bin ‘Ali Azh-Zhahiri mengatakan bahwa larangan tersebut hanya
berlaku khusus untuk masalah buang air
kecil. Menurutnya, masalah buang air besar tidak sama hukumnya dengan buang air
kecil.[8]
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
hadits-hadits di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Kita
sebagai umat islam apabila memiliki lahan jangan sampai ditelantarkan, karena
lahan itu apabila dipergunakan dengan baik akan memberi manfaat kepada
pemiliknya. Jika pemiliknya tdak mampu untuk memanfaatkannya/menggarapnya maka
sebaiknya lahan itu diberikan kepada saudaranya, atau orang yang lebih bisa
memanfaatkannya.
2.
Orang
yang menanam pohon atau orang yang mengadakan reboisasi itu mempunyai derajat
yang sangat mulia. Karena hasil dari tanamannya itu bisa menjadi amal jariyahnya.
3.
Pada
hadits yang terakhir menjelaskan bahwa kita dilarang kencing di air yang
menggenang. Karena air itu akan menjadi najis dan tidak bisa digunakan untuk
bersuci.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemah
Al-Asqalani , Ibnu Hajar. Al-Hafidz, Al-Imam “Fathul Baari”,
terj. Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam. 2005
An-Nawawi, Imam. “Shahih Muslim di Syarhin Nawawi”. terj.
Wawan Djunaedi Soffandi. Jakarta: Mustaqiim.
2003
http://bahrululummunir.blogspot.com/2011/03/hadits-tentang-upaya-pelestarian.html, diakses tanggal 27 september 2012
http://www.google.co.id/, diakses tanggal 1 Oktober 2012
Imam Bukhory. “Shahih Bukhori”. Beirut: Darul fikr, 1981, jld. 1
Imam Bukhory. “Shahih Bukhori”. Beirut:
Darul fikr, 1981, jld III.
[1] (Hadits riwayat Bukhory dalam shahihnya kitab al-muzara’ah, bab
bagaimana para sahabat Nabi SAW. menyantuni sesamanya dalam hal bercocok taman
dan buah-buahan, Beirut: Darul fikr, 1981, jld III.)
[2]
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Imam Al-Hafidz, “Fathul Baari”, terj.
Amiruddin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), jld. 13, hal. 215
[3](Hadits riwayat Bukhory dalam shahihnya
kitab al-muzara’ah, bab keutamaan menumbuhkan dan menanam tanaman
apabila sebagiannya dimakan, Beirut: Darul fikr, 1981, jld. III)
[5] http://bahrululummunir.blogspot.com/2011/03/hadits-tentang-upaya-pelestarian.html, diakses tanggal 27 september 2012
[7] (Hadits riwayat Bukhory dalam shahihnya kitabul wudhu bab al-mai
ad-daimi, Beirut: Darul fikr, 1981, jld. 1, hal. 65
[8]Imam
An-Nawawi, “Shahih Muslim di Syarhin Nawawi”, terj. Wawan Djunaedi
Soffandi, (Jakarta: Mustaqiim, 2003), hal. 381-384
Comments
Post a Comment