QODARIYAH DAN JABARIYAH
PENDAHULUAN
Pada masa daulah bani Umayah, para ulama
hanyut dalam pembicaraan tentang taqdir yaitu tentang perbuatan tuhan dan
perbuatan manusia. Berawal dari pertanyaan apakah manusia berkuasa penuh
terhadap perbuatannnya ataukah sebaliknya tuhanlah yang berkuasa dalam
menentukan perbuatan manusia itu sendiri. Dikatakan dalam perbincangan itu jika
ada suatu perbuatan tertentu dari seorang manusia, maka ada beberapa
kemungkinan :
1. Perbuatan itu karena kekuasaan Allah
2. Perbuatan itu karena Kekuasaan manusia
3. Perbuatan itu karena kekuasaan Allah dan Manusia
Dari masalah ini timbul aliran qadariyah
yang berpendapat bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan yang di
berikan tuhan kepadanya sehingga manusia mempunyai kekuasaan atau daya pada tindakan-tindakannya.
Manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendaknya sendiri
dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat
atas kemampuan dan dayanya sendiri. Dengan demikian aliran qadariyah
berpendapat bahwa tuhan tidak berkuasa atas setiap perbuatan manusia.
Bertolak belakang dengan qadariyah, maka
aliran jabariyah mengatakan bahwa tuhan berkuasa penuh atas perbuatan manusia
karena sudah ditentukan sejak semula oleh qudrat dan iradat tuhan. Manusia
menurut jabariyah tak ubahnya seperti wayang yang tidak bergerak kalau tidak
digerakkan oleh dalang. Oleh karena itu manusia tidak mempunyai kebebasan.
Semua perbuatannya telah ditentukan tuhan semenjak Azal.
Berkaitan dengan persoalan diatas maka
jelas sekali terlihat dan bertolak belakangnya kedua aliran (firqah) ini,
sehingga antara Qadariyah dan Jabariyah tidak ada persamaan pendapat diantara
keduanya. Walaupun kedua aliran ini dianggap menyesatkan oleh kebanyakan umat
Islam, setidaknya kedua aliran ini telah membawa nuansa baru bagi sejarah
teologi dalam Islam, dan turut memberikan sumbangan pemikiran yang besar bagi
umat Islam untuk terus mencari kebenaran-kenaran dari tuhan.
- TOPIK PEMBAHASAN
a. Aliran Qadariyah
b. Ajaran-ajaran Qadariyah
c. Aliran Jabariyah
e. Ajaran-ajaran Jabariyah
PEMBAHASAN
A . Pengertian Qadariyah Dan Sejarah Kelahirannya
Secara etimologi kata qadariyah berasal
dari bahasa arab yaitu “qadara” yang dalam bahasa arabnya berarti berkuasa atau
dapat juga diartikan dengan “dapat dan mampu” Sedangkan menurut terminologi
dalam teologi Islam, maka qadariyah adalah nama yang dipakai untuk satu aliran
yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam
menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham qadariyah, manusia dipandang
mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada
tuhan[1].
Para ahli berbeda pendapat mengenai kapan
munculnya aliran qadariyah dan tentang kapan munculnya aliran ini tidak dapat
di ketahui secara pasti, namun ada beberapa ahli yang menghubungkan paham
qadariyah ini dengan paham khawarij. Pemahaman mereka tentang konsep iman,
pengakuan hati dan amal dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu
sepenuhnya memilih dan menentukan tindakannya sendiri, baik atau buruk[2].
Kebanyakan ahli mengatakan bahwa aliran
qadariyah muncul pada akhir abad pertama Hijrah. Tokoh yang mempelopori aliran
ini bernama Ma’bad al-Juhani al-Bishri, di tanah Iraq[3]. yang kemudian di ikuti
oleh Ghailan al-Dimasyqi. Sementara itu Ibnu Nabatah sebagaimana yang dikutip
Ahmad Amin bahwa paham qadariyah itu pertama kali muncul dari seseorang asal
Iraq yang bernama Abu Yunus Sansawaih seorang penganut agama kristen dan masuk
Islam, tetapi kemudian masuk Kristen lagi. Dari Tokoh inilah Ma’bad al-Juhani
dan Ghailan al-Dimasyqi menerima paham qadariyah ini.
Setelah munculnya aliran ini dan
berkembang dengan bertambahnya jumlah pengikutnya maka pemerintahan banu
Umayyah khawatir akan timbulnya pemberontakan, Keberadaan qadariyah merupakan
tantangan bagi bagi dinasti Umayyah sebab dengan paham yang di sebarluaskannya
dapat menunjukkan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dan dan bertanggung
jawab atas perbuatan itu, maka setiap tindakan dinasti banu Umayyah yang
negatip akan mendapat reaksi yang keras dari masyarakat, berbeda dengan paham
murjiah yang menguntungkan pemerintah.
Aliran qadariyah selanjutnya menempatkan
diri sebagai oposisi pemerintahan umayyah, karena aliran ini banyak menentang
kebijakan-kebijakan khalifah yang dianggap semena-mena dan merugikan rakyatnya
. Apabila firqah jabariyah berpendapat bahwa khalifah banu umayyah membunuh
orang, hal itu karena sudah ditakdirkan oleh Allah dan hal ini berarti
merupakan topeng kekejaman banu umayyah, maka firqah jabariyah mau membatasi
qadar tersebut.
Menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang
tabi’i yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman
Ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan bani Umayah. Dalam
pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’bad mati terbunuh pada tahun 80. Hijriah[4]. Dalam pada itu Ghailan
sendiri terus menyiarkan faham qadariyah-nya di Damaskus, tetapi mendapat
tantangan dari khalifah Umar Ibn Abd al-Azis. Setelah khalifah Umar wafat ia
meneruskan kegiatannya yang lama sehingga ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam Ibn
Abd al-Malik pada tahun 105 Hijriah.
B. Ajaran-Ajaran
Qadariyah
Adapun pendapatnya yang khas sehingga karena itu
golongan ini di sebut “qadariyah” adalah pendapatnya tentang kedudukan manusia
diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah yang bebas
dan berkuasa penuh dalam menentukan amal yang dilakukan dan karenanya ia
bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Jika amalnya baik,
balasannya juga baik dan jika buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib
manusia ditentukan oleh manusia sendiri dan tuhan tidak ada campur tangan dalam
hal tersebut[5].
Qadariyah menyatakan bahwa manusia tidak dipaksa dan bebas melakukan
perbuatannya sendiri, tidak ada kekuatan terhadap segala perbuatannya kecuali
atas kehendak manusia itu sendiri, berkata-kata, berjalan dan tidur atas kemauan
dan kehendaknya sendiri. adapun alasan mereka mengenai hal tersebut adalah :
- Kalau
perbuatan itu diciptakan tuhan, sebagaimana dikatakan aliran jabariyah,
maka apa perlunya ada taklif (perintah) dan hukum pada manusia.
- Pahala
dan siksa akan ada artinya apabila perbuatan manusia itu adalah
perbuatannya sendiri.
- Adanya
ayat-ayat al-Qur’an tentang tanggung jawab manusia dan akibat perbuatan
yang dilakukannya.
Paham tersebut diatas menunjukkan adanya hubungan yang
kuat dengan paham keadilan ilahi artinya bahwa Allah akan disebut adil apabila
ia memberikan balasan kepada orang yang melakukan kebaikan yaitu berupa pahala
begitu juga dengan orang yang melakukan keburukan, maka konsekwensinya berupa
dosa dan akhirnya seseorang akan masuk kesorga atau keneraka atas tanggung
jawabnya sendiri tanpa adanya campur tangan tuhan. Dengan demikian manusia
bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya masing-masing. Inilah yang
disebut kedilan tuhan menurut qadariyah. Selanjutnya paham ini masuk kedalam
paham muktazilah.
Paham qadariyah dalam beberapa masalah, misalnya
mengenai sifat-sifat Allah, mereka menafikan adanya sifat-sifat Allah,
khususnya dalam sifat ma’ani. Ghailan mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut
bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat, melainkan identik dengan dzat Allah.
Al-Qur’an menurutnya adalah qadim, tidak baharu seperti yang dikatakan oleh
Jahm bin Safwan, iman adalah pengakuan dengan hati dan lisan saja, sedangkan
amalan bukan bagian dari iman, dan tentang politik Ghailan mengatakan bahwa
khalifah atau imam itu boleh dilantik dari selain kaum Quraisy selagi ia mampu
menjalankan ajaran al-Qur’an dan sunnah nabi dan tentunya juga ada konsensus
umat atasnya[6].
Tentang perbuatan manusia dan kemampuan manusia dalam
menentukan perbuatannya menurut versi qadariyah diatas dapat dilihat bahwa
qadariyah telah menggunakan interpretasinya untuk menunjukkan keadilan tuhan
itu dapat disamakan dengan keadilan menurut akal (rasional) artinya keadilan
tuhan bisa dinilai dengan keadilan menurut akal manusia. Pandangan inilah
akhirnya masuk kedalam paham muktazilah sehingga terdapat persamaan-persamaan
paham antara satu firqah dengan firqah lainnya, hingga nanti dapat ditemukan
tokoh kalam yang pada suatu pandangan ia masuk kedalam suatu firqah, namun pada
pandangan lainnya ia sudah masuk kedalam firqah yang lain.
Didalam al-Qur'an dapat dilihat beberapa ayat yang
menjadi landasan aliran qadariyah dalam mempertahankan pendapatnya, seperti :
ﺮﻳﺻﺒ ﻦ ﻮﻟﻣﻌﺗ
ﺎﻣﺒ ﻪﻧﺍ ﻢﺗﺋﺷ ﺎﻤ ﺍﻮﻠﻣﻋﺇ
“Kerjakan apa
yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu perbuat[7]”
ﻤﻬﺴﻓﻨﺄﺒ
ﺎﻣﺍﻭﺮﻳﻐﻳ ﯽﺘﺣ ﻣﻭﻗﺒ ﺎﻤﺮﻳﻐﻳﻻﷲﺍﻥﺍ
“Allah tidak
akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka merubah apa yang
ada pada diri mereka[8].”
ﻣﮑﺴﻓﻧﺍﺪﻧﻋ
ﻦﻣﻭﻫﻞﻗ ﺍﺫﻫﻰﻧﺍﻡﺘﻟﻗ ﺎﻬﻴﻟﺜﻣ ﻡﺘﺒﺼﺃﺩﻗ ﺔﺒﻳﺼﻣ ﻣﻜﺘﺒﺎﺼﺃﺎﻤﻠﻮﺃ
“Bagaimana?
Apabila bencana menimpa diri kamu sedang kamu telah menimpakan bencana yang
berlipat ganda (pada kaum musyrik pada perang badar) kamu bertanya? Dari mana
datangnya ini? Jawablah : dari kamu sendiri[9].”
C. Pengertian Jabariyah Dan
Sejarah Kelahirannya
menurut bahasa arab, nama jabariyah berasal dari kata “jabara”
yang mengandung arti “pemaksaan”. Selanjutnya sebagaimana dituliskan warson
bahwa “al-Jabariyyah” adalah aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar bagi
manusia. Sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan
perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada
Allah SWT. Paham ini dalam istilah Inggris disebut fatalism atau
predestination. Secara terminologi dapat dikatakan bahwa paham jabariyah adalah
paham yang memandang bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat
sesuatu, ia tidak mempunyai daya, kekuasaan, kemauan dan pilihan. Manusia
berbuat secara terpaksa. Allah pencipta tindakannya, manusia tak ubahnya dengan
benda-benda lain, misalnya pohon berbuah; yang menciptakan buah adalah Allah
bukan pohon itu[10].
Dalam catatan sejarah, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham jabariyah dikalangan umat Islam adalah Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Ja’ad ini kemudian disebarluaskan dengan sungguh-sungguh oleh para pengikutnya, terutama oleh Jahm Ibn Safwan pada awal abad kedua hijrah, sehingga jabariyah terakhir disebut juga dengan jahamiyah.
Banu umayyah, atau lebih tepatnya sebagian dari khalifah-khalifah mereka pernah memanfaatkan paham jabariyah sebagai pembenar bagi tindakan-tindakan mereka atas umat Islam. Telah menjadi ketentuan Allah, bahwa mereka berkuasa dan bahwa si anu dibunuh oleh algojo mereka dan sebagainya. Kemudian nantinya paham jabariyah yang dikemukakan oleh Jaham Ibn Safwan itu adalah paham jabariyah ekstrim. Sementara itu paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr[11].
Dalam catatan sejarah, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham jabariyah dikalangan umat Islam adalah Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Ja’ad ini kemudian disebarluaskan dengan sungguh-sungguh oleh para pengikutnya, terutama oleh Jahm Ibn Safwan pada awal abad kedua hijrah, sehingga jabariyah terakhir disebut juga dengan jahamiyah.
Banu umayyah, atau lebih tepatnya sebagian dari khalifah-khalifah mereka pernah memanfaatkan paham jabariyah sebagai pembenar bagi tindakan-tindakan mereka atas umat Islam. Telah menjadi ketentuan Allah, bahwa mereka berkuasa dan bahwa si anu dibunuh oleh algojo mereka dan sebagainya. Kemudian nantinya paham jabariyah yang dikemukakan oleh Jaham Ibn Safwan itu adalah paham jabariyah ekstrim. Sementara itu paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr[11].
D. Ajaran-ajaran jabariyah
Aliran jabariyah mempunyai pendapat yang
terkenal mengenai perbuatan manusia, sebagaimana yang dikemukakan prof. Taib
Thahir sebagai berikut : Qudrat dan iradat itu adalah sebagai alat yang
dibekukan dan sudah di cabut kekuasaannya. Adapun hakekatnya, segala pekerjaan
dan usaha yang kita lakukan, dan semua gerak gerik yang lahir kita lihat
sehari-hari ini merupakan paksaan dari Allah SWT semata-mata, sedangkan manusia
itu tidak campur tangan sedikitpun jua. Bahkan kebaikan dan kejahatan yang
diperbuat oleh manusia, adalah semata-mata paksaan tuhan belaka. Yang kemudian
Allah membalasnya kelak dengan kenikmatan atau siksaan.
Mengenai perbuatan manusia, maka aliran
jabariyah terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim.
Golongan moderat dibawa oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr
sedangkan jabariyah ekstrin dibawa oleh Jaham bin safwan. Golongan jabariyah
ekstrim memandang bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya,
misalnya kalau seseorang mencuri, maka perbuatan mencuri bukanlah atas
kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar tuhan yang menghendaki
demikian. Dengan itu mereka berpendapat bahwa sebenarnya manusia tidak mampu
berbuat apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri
dan tidak mempunyai pilihan.
Adapun jabariyah moderat mengatakan bahwa
tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan
baik, tetapi manusia mempunyai peranan didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam
diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud
dengan kasab (acquisition). menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur
(dipaksa oleh tuhan) tidaklah seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang,
tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan
yang diciptakan oleh tuhan[12].
Selanjutnya aliran jabariyah berpendapat
bahwa pembalasan surga dan neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang
diperbuat manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya.
Tetapi surga dan neraka itu semata-mata bukti kebesaran Allah dalam qudrat dan
iradatnya. Sehingga dalam segi-segi tertentu, jabariyah dan muktazilah
mempunyai kesamaan pendapat misalnya tentang sifat Allah, surga dan neraka
tidak kekal, Allah tidak bisa dilihat diakhirat kelak, al-Qur’an itu makhluk
dan lain-lain.
Mengenai perbuatan manusia, jaham
mengatakan bahwa manusia adalah dalam keadaan terpaksa, tidak bebas dan tidak
mempunyai kekuasaan sedikitpun untuk bertindak dalam mengerjakan sesuatu.
Allah-lah yang menentukan sesuatu itu kepada seseorang apa yang dikerjakannya,
baik yang dikehendaki manusia itu ataupun tidak. Jadi Allah ta’ala-lah yang
memperbuat segala pekerjaan manusia. Alasannya mengenai hal ini adalah :
Kalau manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi sekutu
bagi tuhan atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungkin tidak
tunduk kepada kehendak tuhan.
Adanya ayat yang menurut lahirnya bahwa tuhanlah yang
menjadikan segala sesuatu termasuk juga perbuatan manusia, misalnya dalam surat
as-Shafat: 96, dan az-Zumar: 62.
Mengenai sifat Allah, ia mengatakan bahwa
Allah tidak mempunyai sifat-sifat, karena Allah hanyalah mempunyai zat saja.
Walaupun terdapat ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat tuhan seperti sama’ ,
bashar, kalam dan sebagainya semuanya harus ditakwilkan. Mengartikan secara
yang lahir saja, tentulah mengakibatkan pengertian serupanya Allah dengan
makhluknya. Keadaan demikian, mustahil disisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu
wajib ditakwilkan dalam memahaminya[13].
Terhadap al-Qur’an jabariyah berpendapat
bahwa Qur’an itu adalah makhluk Allah yang dibuat (baharu). terhadap Allah
bahwa Allah tidak mungkin dapat terlihat oleh manusia, walaupun diakhirat
kelak, mengenai surga dan neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk
kedalamnya, dan sesudah merasakan pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan
bagaimana azabnya neraka, maka lenyaplah surga dan neraka itu.
Gerakan dan dan golongan ini mendapatkan
tantangan yang hebat dari dan ulama-ulama diluar jahamiah yang menolak dan
memberantas aliran tersebut, penolakan ini didasarkan karena aliran jabariyah
dapat menjadikan manusia malas dan selalu berputus asa, tidak mau bekerja dan
bahkan akan berserah diri kepada qadar saja, keadaan semacam ini pasti akan
membawa kemunduran bagi umat Islam. Didalam al-Qur’an sendiri terdapat beberapa
ayat yang dapat dijadikan pedoman bagi kaum jabariyah, diantaranya :
ﻥﻮﻟﻣﻌﺗﺎﻣﻮ ﻣﻜﻗﻟﺧ ﷲﻮ
ﷲﺍﺀﺎﺷﻳ ﻥﺍﻻﺍﻥﻭ ﺀﺎﺷﺘﺎﻤﻮ
“Tidaklah
kamu menghendaki, kecuali Allah menghendaki[15]
ﺎﻫﺃﺭﺑﻧ ﻦﺍﻞﺒﻘ ﻥﻣ ﺏﺎﺘﻛ ﻰﻔﻻﺇ ﻣﮑﺴﻓﻧﺍﻰﻔ ﻻﻮ ﺽﺭﻷﺍﻰﻔ ﺔﺒﻴﺼﻤ ﻥﻤ ﺐﺎﺼﺍﺎﻤﻮ
“Tidak
ada bencana yang menimpa dibumi dan diri kamu, kecuali telah (ditentukan)
didalam buku sebelum kami wujudkan[16].”
ﻰﻣﺮ ﷲﺍﻦﻜﻟﻮﺖﻴﻣﺭﺫﺍﺖﻴﻣﺭﺎﻣﻮ
“Bukanlah
engkau yang melontar ketika kamu melontar (musuh), tetapi Allahlah yang
melontar( mereka)[17].”
PENUTUP
KESIMPULAN
Aliran Jabariyah dan Qodariyah
yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia
akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan
tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah
ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat
tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat
meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu
tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah
yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam
langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai
golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat
Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan
irodat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.
Sementara bagi Qodariyah
manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran,
ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah
dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa
mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan
dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan
diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan
mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya.
Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika
dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan
dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul “Jabariyah
dan Qodariyah” kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi
perbaikan di masa mendatang.
Sebagai penutup dalam makalah ini.
Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya
memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama
berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan
perbedaan pendapat dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Cet III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu
Kalam, Jakarta, Bulan Bintang, 1997
Harun Nasution, Teologi
Islam, Jakarta, UI-Press, 1986
Rosihan Anwar &
Abdul Razak, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, 2003
Taib Thahir Abd Mu’in,
Ilmu Kalam, Cet VIII, Jakarta, Wijaya, 1986
[11] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan
Tasawuf, Cet III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, h. 42
Comments
Post a Comment