SYEKH HASAN AS-SADZALI DAN AJARANNYA
PENDAHULUAN
Tarekat merupakan jalan yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai
jalan yang berpangkal dari syariat. Dalam ilmu tasawuf , istilah tarekat tidak
saja ditujukan pada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang
syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah
seorang syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam
agama islam, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendakatkan diri kepada
Allah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang
guru (syekh). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha
mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang
ditempuh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Sejarah islam menunjukkan bahwa tarekat-tarekat, sejak bermunculan pada
abad ke-12 (abad ke-6 H) mengalami perkembangan pesat. Dapat dikatakan bahwa
dunia islam, sejak abad berikutnya (1317 M), pada umumnya dipengaruhi oleh
tarekat. Tarekat-tarekat tampak memegang peranan yang cukup besar dalam menjaga
eksistensi dan ketahanan umat islam. Tarekat-tarekatlah yang menguasai
kehidupan umat islam selama zaman pertengahan sejarah Islam. Pengaruh-pengaruh
tarekat mulai mengalami kemunduran. Serangan-serangan terhadap tarekat mulai
semakin gencar dan kuat pada masa modern. Tokoh-tokoh pembaharu dalam dua abad
terakhir ini pada umumnya memandang bahwa salah satu diantara sebab-sebab
mundur dan lemahnya umat Islam adalah pengaruh tarekat yang buruk, antar lain
menumbuhkan sikap taklid, fanalitis, orientasi yang berlebihan kepada ibadah
dan akhirat, dan tidak mementingkan Ilmu Pengetahuan.
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan
(Iran) dan Mesopotamia (Irak). Di daerah Mesopotamia, masih banyak tarekat yang
muncul pada periode ini dan cukup terkenal,tetapi tidak termasuk rumpun
Al-Junaid. Tarekat-tarekat ini di antaranya adalah Tarekat Qadiriyah, Tarekat
Syadziliyah, dan Tarekat Rifa’iyah.
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI ABUL HASAN ASY-SYADZILI
Namanya lengkapnya adalah Abul Hasan Asy-Syadzili al-Hasani. Syekh Abul
Hasan Asy-Syadzili adalah pendiri Tarekat Syadziliyah. Nama kecil Syekh
Abul Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin,
Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy-Syadzili. Di kalamgam tarekat Syadziliyah silsilah keturunan asy-Syadzili
dihubungkan dengan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian ia juga
mempunyai hubungan darah dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW. Nasab atau garis
keturunan Abu Hasan al-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah SAW.
Berikut ini Nasab Abu Hasan al-Syadzili : Abu Hasan bin Abdullah Abdul
Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya' bin Ward
bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Hasan
bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah SAW.[1] Sebagian
besar sumber yang berbicara tentang sejarah Asy-Syadzili sepakat bahwa dia
lahir di negeri Maghrib pada tahun 593 H (1197 M), di sebuah desa yang
bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara, dan meninggal
di Mesir pada tahun 656H/1258M.[2]
Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal
sebagai orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur
katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna
pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur,
Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa
tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang
ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau. Beliau
tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada
akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara)
yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk
menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan
derajat kemuliaan di sisi Allah SWT. Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota
pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Dia tinggal di sebuah desa yang bernama Syadzilah. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah
Khidlir ‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu
adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau yang pada
hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan sekaligus
diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq
mulia.
Dari
Syekh Abi Said, Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an, hadits,
fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan
Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said
menunaikan ibadah haji ke Mekkah al-Mukarromah sampai beberapa kali.
Kemudian, Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu
kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari
seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.
Seterusnya,
ia mengembara ke negeri-negeri muslim di Timur, termasuk mengunjungi kota suci
Mekah untuk melakukan ibadah haji beberapa kali. Dalam pengembaraan tersebut ia
berguru kepada dua sufi lainnya, yaitu Abu Abdillah bin Harazim dan Abdussalam
bin Masyisy. Dari kedua gurunya ini Syadzili memperoleh khirqah, sebagai tanda bahwa ia sudah mencapai taraf pengetahuan
kesufian yang memadai. Khirqah biasanya
berbentuk sepotong kain atau pakaian dari guru yang dianggap mengandung
kesucian dan menjadi kenang-kenangan bagi si murid sendiri.
Perawakannya
yang menarik serta kehidupan yang menunjukkan kesederhanaan membuat Syadzili
mudah mendapat simpati dari masyarakat luas. Menurut riwayat yang hidup dikalangan
tarekat Syadziliyah, beliau dipandang sebagai wali keramat. Kekeramatan itu
diprrolehnya sebagai hasil dari pernyataan Nabi Muhammad SAW sendiri. Hal itu
terjadi setelah ia bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpi itu Nabi SAW
berkata kepada Syadzili: “Hai Ali, pergilah engkau masuk ke negeri Mesir. Di
sana engkau akan mendidik empat puluh orang siddiqin
(jujur).”
Para penganut aliran sufi Syadziliyah menyebutkan sejumlah karomah
Abu Al-Hasan Asy-Syadzili. Diantarnya bahwa dalam perjalanannya ke
Al-Iskandariyah, ia menetap di Tunis beberapa waktu. Di sana, namanya melambung
tinggi dan banyak sekali orang yang berkerumun disekitarnya. Hal tersebut membuat
iri ulama Tunis dan salah satu dari qadhinya bernam Ibnu Al-Barra’. Kemudian
Ibnu Al-Barra’ mengadukan Syadzili kepada penguasa ketika itu, menyiapkan
jebakan untuknya di sisi penguasa tersebut, dan mempermasalahkan nasabnya namun
penguasa Tunis ketika itu tidak menjatuhkan sanksi apa-apa kepada Syadzili,
bahkan menghormatinya, namun ia melarangnya kuluar dari Tunis. Ia melarang
Syadzili keluar dari Tunis karena budak wanitanya yang sangat ia cintai
meninggal ketika itu.
Abu Al-Hasan Asy-Syadzili menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an
dengan penafsiran bathiniah yang merupakan manhaj orang-orang kebatinan dan
para pentakwil. Contoh penafsiran terhadap sebagian ayat-ayat Al-Qur’an telah
saya sebutkan di buku At-Thasawuf,
Al-Mansya’u wa Al-Mashadiru, jadi silahkan merujuk kepadanya.
B. AJARAN-AJARAN ABUL HASAN ASY-SYADZILI
Beberapa
saat setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, Beliau
segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil
menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau
langsung menuju ke desa Ghamarah, tempat di mana Beliau dilahirkan.
Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk
setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir
setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub.
Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang
dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al
Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani,
yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang
letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan
itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi,
segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.
Di suatu
waktu guru beliau, rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal
adalah empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah, RIDHO atas ketentuan
Allah, ZUHUD terhadap dunia, dan TAWAKKAL atas Allah.[3]
Kemudian
disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah, MENJAUHI
larangan-laranganAllah, BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti, dan WARO’
menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.[4]
Hal yang
terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah
diterimanya ijazah dan bai’at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang
rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai
akhirnya berujung kepada Allah SWT. Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot
ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau.
Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah
dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam
ke dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari
keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah
yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy,
rodhiyAllahu ‘anh.
Beliau
pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya
menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan “THARIQAT
SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh
dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan
thoriqot ini.
Asy
Syekh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri Mesir itu sampai
pada bulan Syawal 656 H/1258 M. Pada awal bulan Dzul Qa’dah tahun itu juga,
terbetik di hati asy Syekh untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah.
Keinginan itu begitu kuat mendorong hati beliau. Maka, kemudian diserukanlah
kepada seluruh keluarga Beliau dan sebagian murid asy Syekh untuk turut
menyertai beliau. Ketika itu asy Syekh juga memerintahkan agar rombongan
membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa
agak aneh bagi para pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang menanyakan
tentang hal itu, asy Syekh pun menj awab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada
yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”
Wejangan Dasar
1. Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid yang tidak musrik kepada Alloh ta'ala
2. Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan
bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
3. Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang
direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
4. Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan,
dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
5. Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan
dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
6. Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah,
yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung
kepada-Nya dalam keadaan susah.[5]
Intisari tarekat
Menurut ajaran Tarekat Syadziliyah sendiri, Syadziliyah adalah
tarekat yang termudah dalam perkara ilmu dan amal. Ajarannya serta
latihan-latihan pencucian dirinya tidak rumit dan tidak berbelit-belit. Terekat
ini memberi tuntutan yang mudah dan sederhana dalam ihwal (keadaan mental} dan maqam serta dalam ilham (anugrah, petunjuk langsung) dan maqal (ucapan, perkataan), sehingga para pengikut tarekat dengan
mudah dapat dibawa untuk mendapatkan maqam
(tangga pencapaian sufi dalam membersihkan hati), asrar (rahasia-rahasia Ketuhanan), karamah (kemuliaan yang dilimpahkan Allah SWT kepada seorang
pengikut tarekat dalam bentuk kemampuan memunculkan peristiwa luar biasa), dan mujahadat {bersungguh-sungguh dalam
mengerjakan segala ibadah dan segala wirid seakan-akan yang mengerjakan lupa
akan dirinya).
Tarekat Syadziliyah dibentuk pada tahun 670 H/1273 M dan muncul
pertama kali di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang ke Maroko, Mesir, dan
nageri-negeri muslim belahan dunia Timur lainnya. Upaya penyebaran tersebut
adalah atas jasa pengganti Syadzili sendiri, yakni Abul Abbas al-Mursi dan Ali
bin Umar al-Kurasyi. Di abad ke-19 Tarekat Syadziliyah dikembangkan oleh
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad yang menjadi tokoh sentral Tarekat Syadziliyah
di Aljazair yang menduduki jabatan khalifah tarekat.
Secara pribadi Abul
Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul
Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Ibn
Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran,
pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah
tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya
paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya,
bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru.
Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru.
Sebagai ajaran Tareqat
ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili
kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan
kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan
yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda
ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya."
Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim
at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya
Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn
Atah'illah.
KESIMPULAN
1. Namanya lengkapnya adalah Abul Hasan Asy-Syadzili al-Hasani.
2. Nama kecil Syeh Abul Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin,
Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy-Syadzili.
3. Syekh Hasan Asy-Syadzili lahir di negeri Maghrib pada tahun 593 H
(1197 M), di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara, dan meninggal
di Mesir pada tahun 656H/1258M.
4. Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun,
yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara
Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi.
5. Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di
tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M.
6. Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat dari Syekh Abi
Said.
7. Para penganut aliran sufi Syadziliyah menyebutkan sejumlah karomah
Abu Al-Hasan Asy-Syadzili. Diantarnya bahwa dalam perjalanannya ke
Al-Iskandariyah, ia menetap di Tunis beberapa waktu. Di sana, namanya melambung
tinggi dan banyak sekali orang yang berkerumun disekitarnya.
8.
Empat amalan mulia yaitu: KECINTAAN demi untuk
Allah, RIDHO atas ketentuan Allah, ZUHUD terhadap dunia, dan TAWAKKAL atas
Allah, kemudian disusul tiga lagi yaitu: MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah, MENJAUHI
larangan-laranganAllah, BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti, dan WARO’
menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan.
9. Asy Syekh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri
Mesir itu sampai pada bulan Syawal 656 H/1258 M.
10. Wejangan dasar, yaitu:
- Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid yang tidak musrik kepada Alloh
ta'ala
- Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan
jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
- Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan,
yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku
yang luhur.
- Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun
penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt
(Tawakkal).
- Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang
diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
- Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan
susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan
berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
11.
Terekat
ini memberi tuntutan yang mudah dan sederhana dalam ihwal (keadaan mental} dan maqam serta dalam ilham (anugrah, petunjuk langsung) dan maqal (ucapan, perkataan), sehingga para pengikut tarekat dengan
mudah dapat dibawa untuk mendapatkan maqam
(tangga pencapaian sufi dalam membersihkan hati), asrar (rahasia-rahasia Ketuhanan), karamah (kemuliaan yang dilimpahkan Allah SWT kepada seorang
pengikut tarekat dalam bentuk kemampuan memunculkan peristiwa luar biasa), dan mujahadat {bersungguh-sungguh dalam
mengerjakan segala ibadah dan segala wirid seakan-akan yang mengerjakan lupa
akan dirinya).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2009
Bahri, Fadhli.
Terj. Dhahir, Ilahi, Ihsan (Dirasat fi At-Tasawuf). Darah Hitam
Tasawuf: Studi Krisis Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta: Darul Fatah. 2008
http://syadziliyah.web.id/sejarah
[1] http://risalahparasufi.blogspot.com/p/syekh-hasan-syadzili.html#!/p/syekh-hasan-syadzili.html, diakses tanggal 10 Maret 2012
[2] Fadhli Bahri,
Terj. Ihsan Ilahi Dhahir, Darah Hitam
Tasawuf: Studi Krisis Kesesatan Kaum Sufi. (Jakarta: Darul Fatah, 2008),
270
[5] http://risalahparasufi.blogspot.com/p/syekh-hasan-syadzili.html#!/p/syekh-hasan-syadzili.html, diakses tanggal 10 Maret 2012
Comments
Post a Comment